Ini bukan cuma kencenderungan gerakan di Indonesia. Di dunia pun demikian. Sosiolog Selandia Baru, Dylan Taylor mengulas, gerakan sosial dunia pasca-1968 memang lebih dipengaruhi ide-ide anarkis. Anarkis maksudnya gerakan lebih berorientasi penolakan terhadap Negara dibandingkan mengambil alih kekuasaan. Di kalangan teoritikus gerakan sosial, tendensi ini diadvokasi oleh Michael Hardt dan Antonio Negri, serta Zizek sebagai pendukung lapisan kedua.[4]
Pilihan kedua, yang ditawarkan  Badiou dan Ranciere, adalah gerakan rakyat memajukan tuntutan-tuntutan radikal sampai Negara tidak sanggup memberikan konsesi, dan berujung pada konsekuensi politik lebih jauh. Dengan kata lain: revolusi.
Pilihan ketiga, yang bagi saya lebih pas dengan kondisi saat ini adalah gagasan yang diadvokasi Laclau dan Mouffe---atau jika ditarik lebih ke belakang, Poulantzas---yaitu gerakan sosial meradikalisir institusi politik demokrasi borjuis---seperti partai politik dan parlemen. Radikalisasi ini dilakukan melalui relasi erat antara parpol parlementer dengan gerakan sosial. Banyak pelaku gerakan sosial di dunia kini mulai menyadari ketepatan pilihan ketiga dengan kondisi saat ini.
Saya tidak akan memperdebatkan tiga proposal ini di sini. Kita butuh media lain untuk itu. Yang jelas, jalan pertama dan kedua sudah dan sedang ditempuh gerakan rakyat di Indonesia selama ini, dan hasilnya membawa kita berputar-putar di tempat. Bukankah sudah saatnya menempuh pilihan ketiga?
Untuk menutup bagian ini, saya mengutip pernyataan Sekjend Partai Rakyat Demokratik, Dominggus Oktavianus dalam dikusi daring yang difasilitasi Berdikari Online beberapa hari lalu. Menurutnya, saat ini rakyat---dan tentu saja kaum pergerakan---tidak lagi memiliki banyak pilihan politik (selain membangun parpol alternatif). Kondisi yang rakyat hadapi saat ini hanya pengulangan demi pengulangan.
Di akun twitternya, Dominggus katakan, "Soal Partai alternatif memang bukan wacana baru. Tetapi kali ini ada momentumnya, objektif maupun subjektif. Objektifnya sudah banyak diulas dan bisa terus dikaji. Sedangkan secara subjektif, para pimpinan pergerakan semakin matang/dewasa untuk menghadapi tantangan obyektif secara bersama-sama."
Sampai di sini kita baru membahas mengapa sebuah partai politik alternatif mendesak dibutuhkan. Sementara pertanyaan bagaimana peluang partai politik alternatif dalam landskap politik Indonesia saat ini akan kita bahas dalam artikel selanjutnya. Tetapi mungkin baik jika kisanak pembaca menyempatkan membaca artikel kawan saya di Berdikari Online. Judulnya, "Peluang Dan Tantangan Partai Alternatif Di Pemilu 2024".
Sumber:
- Kompas.com (09/10/2019). Â "TNP2K: Satu Persen Orang Indonesia Kuasai 50 Persen Aset Nasional".Â
- Katadata.co.id (30/10/2018). "1% Orang Terkaya Indonesia Menguasai 46% Kekayaan Penduduk".Â
- DW.com (23/2/2017). "Di Indonesia, Kekayaan 4 Orang Terkaya Setara Kekayaan 100 Juta Penduduk Termiskin"Â
- Winters, Jeffrey. (2013). Oligarchy and Democracy in Indonesia. Indonesia.
- Hadiz, Vedi, and Robison (2014). Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. Routledge.
- Taylor, Dylan. (2017). Social Movements and Democracy in the 21st Century. Parlgrave Macmillan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H