Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Parpol Alternatif?

23 Januari 2021   17:26 Diperbarui: 13 April 2024   21:57 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Partai Politik [Kompascom Kristianto Purnomo]

Kaum 1 persen menjadi sedemikian kayanya bukan karena mereka diberkati Yang Mahakuasa atau karena mereka lebih rajin, lebih pandai, dan lebih berani mengambil risiko dibandingkan kebanyakan orang. Tidak! Kekayaan mereka dihasilkan oleh kedekatan terhadap kekuasaan.

Kalau kita telusuri latar belakang kaum satu persen, orang-orang yang masuk dalam daftar orang-orang terkaya versi Forbes, tampak jelas bahwa mayoritas di antara mereka dahulu merupakan pebisnis di lingkaran Orde Baru atau mewarisi kerajaan bisnis orang tua yang merupakan konco-konco Cendana.

Orde Baru itu sendiri, menurut Robinson dan Hadiz, di masa jayanya (1970an) berkembang menjadi capitalist oligarchy yang menyatukan otoritas publik dan kepentingan pribadi, yang dilambangkan dengan munculnya keluarga-keluarga seperti Soeharto.

Grup-grup perkoncoan penguasa-pengusaha ini kemudian membajak deregulasi ekonomi pada 1980an. Deregulasi yang sejatinya bermaksud mengakhiri kapitalisme Negara a la Orde Baru nyatanya berbuah penguasaan ekonomi yang kian terkonsentrasi ke tangan keluarga politisi-pebisnis di sekitar Cendana. Mereka memusatkan bisnis dalam industri berbasis sumber daya alam, monopoli dan kartel perdagangan dalam negeri dan di sektor barang riil domestik, lalu merambah perbankan dan proyek-proyek pembangunan insfrasturktur besar.

Krisis ekonomi dan krisis politik (kejatuhan Soeharto) 1998 sebenarnya merupakan momentum yang memporak-porandakan kekuatan ekonomi dan politik oligark. Sayangnya itu hanya sebentar. Dengan membajak program pemulihan ekonomi---seperti BLBI dan restrukturisasi utang---mereka kembali pulih. Lagi-lagi ironis. Program pemulihan ekonomi itu dibiayai utang luar negeri yang rakyat pula secara turun-temurun membayarnya.

Di lapangan politik, para oligark yang dahulu berkumpul di sekitar Cendana ramai-ramai berkamuflase. Mereka berloncatan, menyebar ke partai-partai baru, menjadi cukong yang berkuasa dari balik kegelapan kedalaman kekuasaan di sana atau bahkan mendirikan parpol-parpol baru.

Deideologisasi akut yang diidap parpol-parpol pascareformasi memperparah ketergantungan mereka terhadap oligark. Parpol berubah menjadi serupa agen tenaga kerja yang menyalurkan para pencari kerja di lembaga-lembaga kekuasaan. Landasan rekrutmen politisi bukan lagi ideologi dan penerimaan platform. Maka uang menjadi bahasa politik utama.

Dengan kondisi ini, jangan heran jika berbagai produk perundang-undangan dan kebijakan yang bertujuan memperkuat penguasaan oligark terhadap sumber daya ekonomi sangat mudah dihasilkan. Lihat saja betapa mulusnya pengesahan revisi UU Minerba dan betapa sepinya perdebatan soal Omnibus Law Cipta Kerja di DPR. Parpol-parpol itu boleh saja ribut saling kritik untuk hal-hal sensasional remeh-temeh. Tetapi begitu menyangkut kepentingan oligark, mereka bersatu.

Singkatnya, ketimpangan ekonomi yang bikin mayoritas rakyat melarat berkaitan erat dengan kondisi defisit demokrasi politik. Kita hanya hidup seolah-olah demokratis: ada banyak parpol dan ada pemilu yang rutin digelar. Tetapi hakikatnya tidak demikian sebab parpol-parpol hanya milik segelintir kelompok, golongan yang menikmati keuntungan ekonomi terbesar dari berbagai kebijakan publik.

Ini bukan cuma kondisi Indonesia. Ketika pada 2011 merebak gerakan Occupy Wall Street---yang bermula dari AS---dengan slogannya We Are the 99%, yang diteriakkan bukan cuma ketimpangan kekayaan tetapi juga dominasi satu persen orang-orang terkaya dan perusahaan-perusahaan mereka terhadap institusi demokrasi.

Kebijakan publik yang mengabdi kepada kaum 1 persen dan sebaliknya merugikan 99 persen rakyat memang telah menuai perlawanan massif rakyat dalam rupa aksi-aksi demonstrasi penolakan. Sayangnya, jika bukan aksi-aksi reaktif, perlawanan tersebut masih terbatas sebagai gerakan sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun