Sebenarnya label Rizal Ramli sudah punya modal dasar untuk menjadi sign dari gagasan tersebut. Rizal sudah aktivis semenjak masih mahasiswa ITB, menjadi ekonom kritis setelah banting setir kuliah ekonomi, menjadi orang kepercayaan Gus Dur, dan hingga kini konsisten kritis terhadap setiap pemerintahan, semenjak Soeharto hingga Joko Widodo.
Kemandirian nasional adalah benang merah tebal yang bisa ditarik siapapun yang menilai objektif pemikiran dan sepak terjang Rizal Ramli.
Akan tetapi rupanya bunyi Rizal Ramli tidak bisa serta merta jadi sign kepemimpinan alternatif. Ia butuh tambah daya. Karenanya, para pendukung Rizal di Tebu Ireng merasa perlu menggelarinya Gus Romli.
Gus merupakan julukan untuk kyai muda atau sapaan kehormatan yang akrab di kalangan masyarakat Nahdatul Ulama.[1] Dengan menggelarkan sapaan Gus, penggemar Rizal Ramli di Pesantren Tebu Ireng ingin mendekatkan tokohnya dengan masyarakat NU.
Romli merupakan pergeseran bunyi Ramli. Seperti yang Rizal cuitkan, pembunyian Ramli sebagai Romli berlatar belakang keyakinan ratu adil atau satrio piningit yang hidup di tengah-tengah masyarakat Jawa.
Masih cukup besar orang Jawa yang percaya dan menantikan pemenuhan ramalan, disebut Jangka Jayabaya, tentang era kemakmuran dan keadilan bangsa Nusantara di bawah pemerintahan serangkaian raja-raja yang namanya memiliki kandungan bunyi No-To-Ne-Go-Ro.
Jayabaya adalah raja Kediri (1116 M) yang terkenal adil dan sanggup membawa kemakmuran dan kedamaian bagi rakyatnya. Oleh kearifan Jayabaya memimpin, Mpu Sedah dan Mpu Panuluh -dalam kakawin Bharatayudha- menjulukinya titisan Wisnu.
Sebenarnya bukan Jayabaya yang menulis Jangka Jayabaya. Para sejarahwan -misalnya Gusti Sasmita, Hermanu Soebagio, dan Sariyatun (2018)- menyimpulkan, Jangka Jayabaya adalah produk sastra abad 18 (1700an), lahir sebagai respon para pujangga terhadap kondisi ketertindasan rakyat oleh feodalisme dan kolonialisme mula-mula.
Aslinya Jangka Jayabaya ditulis Pangeran Wijil I, bangsawan dan pujangga istana pada 1749 M. Wijil menyusun Jangka Jayabaya dengan memadukan sumber yang diperoleh dari kakawin Bratayudha karya Mpu Sedah dan Panuluh (tentang masa pemerintahan Jayabaya) dan Kitab Asrar (Musarar) gubahan Sunan Giri Perapan (Sunan Giri ke-3) pada 1618 M.
Musasar Sunan Giri ke-3 berisi wasiat Sultan Agung berupa harapan dan ramalannya tentang masa depan Jawa di masa pemerintahan raja-raja jauh kemudian hari setelah masanya.