Ramon mencontohkan keteladanan ayahnya, Ramon del Fierro Magsaysay Sr., Presiden Filipina ke-7 (1953-1957). Saat menduduki kursi kepresidenan, Ramon Magsaysay Sr. melarang anggota keluarganya mencalonkan diri untuk jabatan-jabatan publik.Â
Genaro Magsaysay, adik kandung Ramon Sr baru mencalonkan diri sebagai anggota DPR pada 1957, tepat di tahun kakaknya meninggal dalam kecelakaan pesawat ketika melakukan lawatan kepresidenan.
Jadi, meski secara umum dinasti politik sebaiknya dihindari, ada praktik khas dinasti politik yang sungguh buruk, yaitu ketika anggota keluarga seorang presiden, gubernur, bupati, atau wali kota mencalonkan diri untuk jabatan publik lain yang hasil pemilihannya dapat dipengaruhi oleh intervensi kekuasaan presiden, gubernur, bupati, atau wali kota.
Kasus ini, seperti pencalonan Gibran dalam Pilkada Surakarta di saat Joko Widodo menjabat Presiden, pencalonan Siti Nur Azizah di Pilkada Tangerang Selatan saat Ma'ruf Amin menjabat Wakil Presiden, atau pencalonan suami/istri gubernur, wali kota, dan bupati dalam pemilu parlemen 2019 lalu, merupakan pelanggaran etika politik terburuk karena berpotensi pencederaan asas fairness dalam pemilu oleh misuse administrative resources, 'penyalahgunaan sumber daya administratif'.
Tidak ada orang yang terlampau bodoh untuk menyangkal akses presiden (terutama), gubernur, bupati, atau wali kota terhadap sumber daya manusia, keuangan, fasilitas, dan aspek lain administrasi penyelenggaraan pemilu.Â
Para pendukung dinasti politik -sering karena kebetulan yang terlibat politik dinasti adalah patron mereka- mungkin akan bersikap anti-teori dengan mengklaim 'orang baik' tidak mungkin menyalahgunakan kekuasaan; orang baik akan menghindari moblisasi sumber daya administrasi untuk melayani kepentingan pribadi dan keluarganya.
Naif. Entah butuh berapa banyak lagi penghianatan 'orang-orang baik' untuk membuktikan kebenaran hukum 'kekuasaan cenderung korup'.
Dalam konteks lebih spesifik dari hukum yang dinyatakan Lord Acton, Max Weber dalam esainya, "Politics as a Vocation" mengulas temuan fakta-fakta karakter penguasa semenjak land lord di masa feodalisme hingga penguasa negara modern yang selalu berupaya mengendalikan administrasi negara, yang sejatinya memiliki otonomi dalam mengurusi hal-hal tertentu, agar mengabdi kepada kepentingan dan keuntungan pribadi si penguasa.
Benar bahwa untuk memagari penyelenggaraan pemilu (pilkada juga pemilu) dari misuse administrative resources telah dibuat serangkaian perundang-undangan; telah dibentuk lembaga-lembaga pengawas dan lembaga penyelesaian sengketa pemilu dan pilkada.Â
Namun kita juga terus-menerus menyaksikan kekuasaan -juga uang- dengan mudah merusak pagar-pagar itu. Setiap pagar baru dibangun atau diperkuat, selalu ada celah baru yang bisa diterobos aktor-aktor kekuasaan untuk memuluskan kepentingannya.
Kecurangan, melalui mobilisasi sumber daya negara -sebagaimana melalui money politics- berdampak pemilu atau pemilukada tidak menghasilkan pemimpin yang dikehendaki rakyat.