Di satu sisi, sebagai Menteri KKP, Edhy Prabowo berkepentingan memastikan perusahaan-perusahaan yang mendapat izin ekspor benih lobster sungguh memenuhi syarat dan praktik bisnis ekspor benih lobster berjalan sesuai ketentuan. Tetapi sebagai elit Gerindra, Edhy berkepentingan agar teman-teman separpolnya, dan Hashim Djojohadikusumo sebagai bos-nya di Parpol digolkan, mendapat quota lebih besar, dan dimudahkan dalam menjalankan bisnis ekspor benih lobster.
Demikian juga tim di KKP yang bertugas memverifikasi perusahaan-perusahaan yang melamar. Meksi bukan orang Gerindra, memiliki menteri elit Gerindra menempatkan mereka dalam konflik kepentingan ketika sejumlah perusahaan yang dimiliki bos-bos Gerindra mengajukan izin ekspor benih lobster. Tim di KKP terperangkap situasi antara bertindak profesional sesuai tanggungjawabanya dengan keinginan menyenangkan atasan -- mungkin kata menjilat terlalu kasar -- demi kelangggengan jabatan mereka.
Jadi klarifikasi Hashim menjadi janggal sebab selain isi penjelasannya tidak berhubungan dengan persoalan, ia juga bukan pihak yang seharusnya mengklarifikasi. Hashim sudah bertindak seolah-olah ia juru bicara anak buahnya di Gerindra, Edhy Prabowo. Tambah runyam lagi.
Konglomerat Penguasa Parpol terlibat proyek pemerintah: bau tajam Oligarki
Kata oligarki sedang di puncak percakapan publik lagi gara-gara anak Joko Widodo mencalonkan diri dalam pilkada Surakarta. Orang-orang berkomentar di media sosial, menghubungkan politik dinasti dengan oligarki.
Padahal, politik dinasti, terutama dalam kasus Gibran berlaga di Pilkada, tidak bisa menjadi bukti praktik atau keberadaan oligarki. Kesimpulan yang menghubungkan dua hal ini cuma berbasis kecenderungan umum bersatunya parpol-parpol -- semua mencalonkan Gibran -- disebabkan kendali tangan-tangan oligark di baliknya.
Justru kasus pemberian izin ekspor benih lobster kepada perusahaan Hashim Djojohadikusuma lah contoh paling kuat dari keberadaan oligark dan praktik oligarki.
Sudah pernah saya tulis dalam artikel "Oligarki Menjaga Soliditas dan Harmoni Melalui Electoral Threshold 7 Persen", pengertian oligark -- mengutip Jeffri Winters -- adalah "para aktor yang mengontrol konsentrasi masif sumber daya material dan menggunakannya untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan dan posisi sosial mereka yang eksklusif."
Jadi oligark adalah elit ekonomi yang mengendalikan politik, baik secara tidak langsung dengan mensponsori politisi atau terjun langsung sebagai politisi.
Oligarki adalah pemerintahan para oligark di belakang layar, yang sebagai deep state atau pseudo-state mengendalikan kekuasaan formal. Dalam pemerintahan oligarki, elit politik hanya seolah-olah mengambil keputusan-keputusan. Senyatanya mereka cuma boneka sekumpulan elit ekonomi.
Hashim adalah salah satu elit ekonomi pamuncak di Indonesia. Ia termasuk dalam daftar 40 orang terkaya di Indonesia, dengan kekayaan -- sebelum pandemi -- mencapai  US$ 800 juta atau sekitar Rp 11,2 triliun.[4]
Sekalipun Hashim berbuih-buih mengklaim dirinya terjun ke dunia politik karena ingin mengabdi kepada bangsa dan negara -- semua yang terjun ke politik, dari gembel hingga penguasa pulau akan bilang begitu -- semua teori politik menyatakan kepentingan elit ekonomi terjun ke lapangan politik adalah untuk melindungi kekayaan mereka dan berburu rente ekonomi memanfaatkn pengaruh mereka terhadap kekuasaan.