Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pansus Skandal Buron Djoko Tjandra Itu Wajib, Kecuali ...

16 Juli 2020   15:13 Diperbarui: 18 Juli 2020   15:46 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Djoko Tjandra di PN Jaksel, 2008 [Kompas.com Danu Kusworo]

Saya kira kita perlu berterima kasih kepada watch dog partikelir seperti Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) dan Indonesia Police Watch (IPW). Oleh usaha MAKI mendapatkan bocoran surat jalan yang diterbitkan pejabat Bareskrim untuk Djoko Tjandra, kasus ini menyita lebih banyak perhatian publik dan memaksa otoritas politik cepat-cepat bertindak.

Komisi III DPR RI sudah memanggil dan bertemu petinggi Kejaksaan Agung dan Polri. Dari sana lahir usulan pembentukan panitia khusus kasus Djoko Tjandra. Kita sebut saja Pansus Skandal Buron Djoko Tjandra. Ini perkembangan positif.

Akan tetapi saya cemaskan nasip usulan pansus skandal buron Djoko Tjandra layu sebelum kecambah. Baru saja saya akses berita di Metro TV, berjudul "Tak Akan Bentuk Pansus, DPR: Surat Djoko Tjandra, Tantangan Bagi Polri."[1]

Dalam berita itu, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond Mahesa mengatakan DPR tidak akan membentuk  pansus. Menurut politisi Partai Gerindra ini kasus lolosnya Djoko Tjandra tidak layak di-pansus-kan. Desmond menilai, skandal penerbitan surat jalan Djoko Tjandra oleh pejabat Bareskrim merupakan tantangan internal Polri dan harus diselesaikan sendiri oleh Polri.

Sebagaimana kelemahan lazim jurnalisme masa kini, tidak jelas apakah pernyataan Desmon merepresentasikan sikap Komisi III -- seperti kesan yang diberikan judul berita -- atau hanya pernyataan pribadi Desmon.

Yang kita ketahui, wacana pembentukan pansus baru beredar dan hingga kini belum ada kabar DPR sudah mengadakan rapat untuk memutuskan apakah akan membentuk panitia khusus atau tidak. Jadi-tidaknya pansus skandal buron Djoko Tjandra bergantung suara mayoritas di lembaga itu.

Demi pansus sukses terbentuk, sebagai warga negara -- tentu saja dengan kapasitas cuma seorang awam dalam politik hukum dan tetek-bengek mekanisme di DPR -- saya merasa perlu menuliskan sedikit timbangan awam soal pentingnya pembentukan pansus skandal buron Djoko Tjandra.

Saya cemas ada upaya mengisolasi kasus ini sebatas kejahatan Brigjen Prasetyo Utomo.

Prasetyo adalah Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS, struktur di lingkungan Barskrim Polri. Ia menerbitkan surat jalan untuk Djoko Tjandra. Dalam surat itu, identitas Djoko Tjandra dipalsukan sebagai konsultan. Karena sejatinya surat jalan dimaksud hanya digunakan untuk internal Polri, maka sangat patut diduga Brigjen Prasetyo Utomo sengaja memalsukan identitas Djoko Tjandra sebagai konsultan Polri.

Berbekal surat jalan bertitimangsa 18 Juni 2020 itu, Djoko Tjandra bisa terbang bebas dari Jakarta ke Kalimantan Barat untuk kemudian lenyap lagi dari radar pencarian buronan.[2]

Tentu kita perlu mengapresiasi janji Polri bahwa pemeriksaan terhadap Prasetyo Utomo -- saat ini dalam penahanan 14 hari oleh Propam Polri dan sudah dicopot Kapolri dari jabatannya -- diarahkan untuk pengembangan temuan keterlibatan aktor-aktor lain. Tetapi perlu pula diingat, skandal kaburnya Djoko Tjandra tidak hanya berkaitan dengan surat jalan yang diterbitkan Brigjen Prasetyo Utomo.

Pada Juni 2009, 11 tahun lalu, Djoko Tjandra kabur ke Papua New Guinea sehari sebelum Mahkamah Agung mengeluarkan keputusan mengabulkan permohonan PK Kejaksaan Agung. Itu berarti Djoko Tjandra memiliki pembisik di lingkungan Mahkamah Agung.

Terungkap pula, nama Djoko Tjandra hilang dari data base Red Notice Interpol sejak 2014. Red notice adalah permintaan menahan sementara tersangka atau orang yang masuk daftar pencarian orang. Di Indonesia, badan yang mengurusi red notice adalah NCB-Interpol Indonesia yang berada dalam lingkup Divisi Internasional Polri.

Kepada Menko Polhukam Mahfud MD, pihak NCB-Interpol Indonesia mengatakan menghapus nama Djoko Tjandra dari data base red notice karena pada 2014 Kejaksaan Agung tidak mengajukan surat perpanjangan. Sebaliknya, pihak Kejaksaan Agung berpendapat, menurut mekanisme yang mereka pahami, tidak perlu ada pengajuan perpanjangan red notice. Selama burunon belum tertangkap, red notice tetap berlaku.

On-Off status DPO Djoko Tjandra di Ditjen Imigrasi -- yang merespon permintaan Polri dan Kejagung -- bisa jadi indikator tarik-menarik antara kepentingan penegakan hukum dengan operasi mafia hukum. Atau jangan-jangan tarik-ulur status itu karena Djoko Tjandra dijadikan ATM?

Coba perhatian ikat-lepas status Djoko Tjandra di keimigrasian berikut:[3]

  • 24 April 2008: pengajuan pencekalan Djoko Tjandra oleh KPK, berlaku 6 bulan;

  • 10 Juli 2009: penerbitkan red notice Djoko Tjandra oleh NCB-Interpol;

  • 29 Maret 2012: permintaan pencekalan Djoko Tjandra dari Kejagung, berlaku 6 bulan;

  • 12 Februari 2015: permintaan DPO Djoko Tjandra oleh Sekretaris NCB-Interpol Indonesia;

  • 4 Mei 2020: Informasi dari Sekretaris NCB-Interpol bahwa nama Djoko Tjandra telah terhapus dari basis data red notice sejak tahun 2014. 

  • 27 Juni 2020, permintaan DPO Djoko Tjandra oleh Kejaksaan Agung.

Sampai di sini kita melihat celah dalam sistem yang bisa dimanfaatkan koruptor untuk meloloskan diri. Ada ketidakjelasan, siapa yang berhak atas keputusan pencekalan dan panahanan orang di imigrasi, Polisi (NCB-interpol) atau kejaksaan? Jika Kejaksaan, mengapa imigrasi menerima pula permintaan dari NCB-Interpol? Jika NCB-Interpol, mengapa ada permintaan dari Kejagung?

Atau  pula, yang mana mekanisme standar red notice? Kejaksaan mengajukan permintaan periodik -- diperpanjang setelah jatuh tempo -- kepada NCB-Interpol (perspektif kepolisian) atau red notice otomatis diperpanjang selama buronan belum tertangkap (pandangan Kejaksaan Agung)?

Persoalan lain adalah bagaimana bisa basis data buronan kakap seperti Djoko Tjandra masih bisa diakses dan diutak-atik di low level security setingkat kelurahan? Apakah Dispenduk tidak memberlakukan akses khusus terhadap data kependudukan para buronan? Bagaimana koordinasi antara Kejaksaan, Polri, Imigrasi, dan Kemendagri dalam urusan data dan status kependudukan buronan?

Nah, karena problem ini berkaitan dengan celah dalam sistem hubungan antar-lembaga, penyelesaiannya tidak bisa hanya jadi urusan Polri dan penegakan hukum internal mereka. Harus ada perbaikan sistem dan karenanya lebih tepat jika penyelidikan terhadap celah-celah dalam sistem dilaksanakan oleh DPR. Dengan begitu, DPR bisa menerbitkan undang-undang atau memfasilitasi kesepakatan antar-lembaga untuk menutupi celah tersebut.

Skandal pelarian Djoko Tjandra bisa jadi pintu gerbang penyedia akses informasi seluas-luasnya terhadap celah-celah dalam sistem yang bisa dan biasa dimanfaatkan koruptor. Untuk inilah pansus DPR hendaknya dibentuk.

Saya kira dengan pertimbangan sederhana a la awam seperti ini, DPR punya alasan kuat membentuk pansus skandal buron Djoko Tjandra. Kita berasumsi saja para anggota DPR tidak ikut terlilit tentakel suap Djoko Tjandra sehingga tetap punya komitmen membongkar kelemahan sistem dan memperbaikinya.

Kita tidak bisa memastikan hanya orang jujur saja yang duduk di jabatan-jabatan penting otoritas hukum dan kekuasaan. Tetapi sistem yang baik, yang selalu di-up date dan up grade bermanfaat mempersempit ruang gerak pada mafia.***

Baca:

"Orang Manggarai, Pohon Jeruk Nipis dan Rumpun Kemangi di Belakang Rumah"

"Kelahiran dan Perlawanan Bikini, Apa Relasinya dengan Bom Atom?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun