Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Elit Gerindra di Balik Kisruh Ekspor Benih Lobster, Apa Kata Prabowo?

7 Juli 2020   14:32 Diperbarui: 13 April 2024   22:45 2704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prabowo Subianto dan Edhy Prabowo [Kompas.com]

Masih segar dalam ingatan, kritik dan tudingan yang dilontarkan Prabowo Subianto kepada pemerintahan periode pertama Joko Widodo semasa kampanye Pilpres 2019. Dua tema utama narasi Prabowo adalah kebocoran kekayaan alam Nusantara dan persekutuan elit merampok negeri ini.

Tema yang pertama menyasar kebijakan yang membocorkan kekayaan alam Indonesia ke luar negeri.

Kebocoran yang dimaksud Prabowo adalah kecenderungan pemerintah menyokong praktik bisnis penjualan raw material, tanpa terlebih dahulu melalui proses pengolahan, hilirisasi. Dampaknya nilai tambah industri pengolahan bahan mentah yang berasal dari alam Nusantara justru dinikmati negara-negara tujuan impor.

Tema kedua menyasar perilaku elit politik. Prabowo mengunakan istilah elit mukpentip, muka penuh tipu-tipu. Menurut Prabowo, elit-elit politik mukpentip ini bersekutu dengan elit bisnis untuk merapoki rakyat dan kekayaan alam Nusantara.

"Mereka adalah elite-elite politik munafik, yang seperti bunglon. Elite-elite seperti itu harus minggir kalau nyolong lagi,'' kata Prabowo Subianto dalam kampanye terbuka di Mojokerto, GOR Satria Purwokerto, April 2019. [1]

Kini, sepertinya dua narasi besar yang Prabowo gunakan untuk menyerang Jokowi dahulu berbalik mengarah ke diri sendiri. Air percikan dulang yang ditepuk Prabowo tahun lalu, baru sekarang mendarat di wajahnya.

Inilah kesan saya dari kebijakan liberalisasi ekspor benih lobster, langkah besar Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo. Edhy adalah elit Partai Gerindra, dibawa masuk Prabowo untuk menemani dirinya duduk di kabinet pemerintahan periode kedua Joko Widodo.

Ada dua masalah yang dikandung kebijakan liberalisasi ekspor lobster Edhy Prabowo. Keduanya berhadap-hadapan diametral dengan narasi kampanye Prabowo dulu.

Yang pertama, ekspor benih lobster adalah pembocoran kekayaan laut Indonesia.

Di masa Menteri KKP dijabat Susi Pudjiastuti, hanya lobster dewasa yang boleh dijual dan diekspor.

Liberalisasi ekspor benih lobster Menteri Gerindra berdampak menguntungkan negara pesaing, terutama Vietnam. Sebab dengan sokongan benih lobster yang diekspor Indonesia ke sana, Vietnam berjaya di pasar lobster dewasa internasional.

Saya belum akan panjang menulis soal  pro-kontra kebijakan ini. Kita akan mengulasnya dalam artikel lain agar ada kesempatan memberi timbangan yang adil, mempelajari lebih banyak argumentasi Menteri Gerindra, Edhy Prabowo.

Tetapi saya sedikit tergelitik. Orang-orang Gerindra, seperti Fadli Zon, kerab ikut bermain-main dengan istilah #Anj*ngPeking dan #AntekPKC. Istilah ini dipopulerkan sebagai tagar twitter oleh bekas PNS Said Didu, digunakan untuk mempertebal narasi tudingan kepada pemerintahan Joko Widodo sebagai pengabdi kepentingan China, negara yang diperintah Partai Komunis.

Yang lucu, dengan kebijakan menguntungkan Vietnam, apakah Gerindra kini jadi #AntekHanoi?

Ingat lho, Vietnam itu lebih komunis dibandingkan China. Partai Komunis Tiongkok sudah lama meninggalkan ajaran Mao Tse Tung. Sementara Partai Komunis Vietnam, penguasa negeri itu, hingga kini masih menjadikan Marxist Leninis ajaran Ho Chi Minh sebagai haluan resmi Komunisme di sana.

Jadi jika Jokowi dan PDIP dituding sekutu dekat PK China, apakah Gerindra kaki tangan PK Vietnam? Apa kiranya kata PKS ya?

Makanya Tong, banyak baca dulu sebelum bikin narasi. Itu perpustakaan jangan cuma jadi objek pamer di Instagram.

Tetapi sudahlah. Kita loncat saja ke hal kedua. Elit mukpentip.

Menurut pemberitaan Tempo, hingga saat ini, Kementerian KKP sudah memberi izin ekspor benih lobster kepada 30 perusahaan berbentuk PT, CV, dan UD. Rupanya perusahaan-perusahaan itu bergerak cepat, sekalipun mereka diberikan syarat 'ketat' harus terlebih dahulu membangun fasilitas pembudidayaan lobster.

Pada 12 Juni, 14 koli benih bening lobster (Puerelus) terbang dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta ke Hanoi. Eksportirnya tercatat sebagai PT ASSR dan PT TAM. Ekspor itu ditenggarai tidak masuk pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak

KKP mengklarifikasi dugaan ini, menyatakan PNBP sudah clear karena perusahaan menggunakan Bank Garansi. [2] Meski demikian, Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) tetap menyerukan kepada KPK untuk menghentikan sementara kebijakan tersebut. Tujuannya memberikan kesempatan KPK menyelidiki dugaan korupsi dan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) menyelidiki dugaan praktik bisnis tak sehat.[3]

Dugaan korupsi dan pelanggaran prinsip persaingan usaha yang fair dalam kebijakan liberalisasi ekspor lobster sangat beralasan.

Pertama, sebagaimana pemberitaan Tempo,25 dari 30 perusahaan yang mendapat izin ekspor lobster baru didirikan 2-3 bulan lalu. Jadi kita bisa berkesimpulan, perusahaan-perusahaan ini didirikan untuk merespon liberalisasi ekspor lobster Menteri KKP asal Gerindra.

Ini seperti praktik lazim kemarin-kemarin dalam program pengembangan komunitas di sejumlah kementerian dan pemerintah daerah. Sebelum program diluncurkan resmi, kelompok-kelompok masyarakat dadakan didirikan untuk menerima dana bantuan tersebut. Uniknya, pendirian kelompok-kelompok ini sering difasilitasi orang-orang parpol yang punya afiliasi ke kementerian pemilik program.

Ini pula kesan kuat yang muncul dari profil perusahaan-perusahaan penerima izin ekspor. Mereka baru didirikan beberapa bulan lalu tetapi sudah ada ekspor pada 12 Juni, hanya sebulan setelah beleid Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 diundangkan (4 Mei).

Padahal, untuk bisa mendapat izin sebagai eksportir, di atas kertas perusahaan-perusahaan ini diwajibkan memiliki fasilitas pembudidayaan.

Kedua, menjadi lebih mencurigakan lagi setelah terbongkar bahwa beberapa perusahaan dimiliki dan berafiliasi dengan elit-elit Partai Gerindra dan elit politik lain yang dekat dengan Gerindra.

Lihatlah sejumlah nama yang terbongkar oleh penelurusan Tempo berikut:[4]

  1. Hashim Djojohadikusumo sebagai komisaris  PT Bima Sakti Mutiara;

  2. Rahayu Saraswati Djojohadikusumo selaku Direktur Utama PT Bima Sakti Mutiara;

  3. Ahmad Bahtiar Sebayang selaku Komisaris  PT Royal Samudera Nusantara;

  4. Rauf Purnama, Dirgayuza Setiawan, Simon Aloysius Mantiri, Sakti Wahyu Trenggono, Sudaryono,  dan Sugiono di PT Agro Industri Nasional (Agrinas);

  5. Iwan Darmawan Arasdi di PT Maradeka Karya Semesta.

  6. Fahri Hamzah (eks-PKS) di PT Nusa Tenggara Budidaya dan Lalu Suryade (elit PKS) di PT Alam Laut Agung.

Siapa tak kenal Hashim dan kekuasaannya di Gerindra. Ia adik kandung Prabowo Subianto sekaligus pendiri Gerindra. Pada masa awal Gerindra, Hashim-lah yang dianggap penyandang dana utamanya.

Rahayu Saraswati  Djojohadikusumo adalah putri kandung Hashim, yang berarti juga ponakan kandung Prabowo Subianto. Ia elit Partai Gerindra yang kini duduk di DPR RI dan sedang diperjuangkan untuk bertarung dalam Pilkada Tangerang Selatan, Desember 2020 mendatang.

Lebih menarik lagi,  hampir seluruh saham PT Bima Sakti Mutiara, dimiliki PT Arsari Pratama.

Ada yang masih ingat PT Arsari Pratama?

Ini adalah perusahaan pemilik ambulans yang tertangkap polisi mengangkut batu dalam aksi unjukrasa 22 Mei yang rusuh itu. PT Arsari Pratama sendiri merupakan bagian dari Arsari Group, milik keluarga besar Prabowo.

Bos Arasari Group, Sarawati Djojohadikusumo mengaku, setelah 34 tahun berbisnis mutiara, baru pada Mei lalu Arsari Group mengajukan izin usaha ekspor lobster. Ya, setelah Kementerian KKP berada di tangan orang Gerindra.

Ahmad Bahtiar Sebayang, Komisaris  PT Royal Samudera Nusantara, merupakan  Wakil Ketua Umum Tunas Indonesia Raya, underbouw Gerindra, sekaligus Kepala Departemen Koordinasi dan Pembinaan Organisasi Sayap DPP Partai Gerindra.

PT Agro Industri Nasional (Agrinas) adalah perusahaan yang sahamnya dikuasai Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan. Yayasan ini berada di bawah pembinaan Kementerian Pertahanan yang saat ini dipimpin Prabowo Subianto.

Lihatlah jajaran komisaris dan direktur Agrinas. Elit-elit Gerindra tumplek blek di sana.

Rauf Purnama, Dirut Agrinas adalah anggota dewan pakar tim kampanye Prabowo-Sandiaga dalam Pilpres 2019. Ia juga caleg Gerindra pada Pemilu 2019. Dirgayuza Setiawan, Direktur Operasi Agrinas merupakan pengurus Tunas Indonesia Raya, underbow Gerindra. Direktur Keuangan Agrinas dijabat anggota Dewan Pembina Gerindra, Simon Aloysius Mantiri.

Di jajaran Komisaris Agrinas ada Sugiono (Waketum Gerindra sekaligus anggota DPR RI fraksi Gerindra di  Komisi Pertahanan) dan Sudaryono (Wasekjend Gerindra).

Komisaris Utama Agrinas adalah Sakti Wahyu Trenggono, Wakil Menteri Pertahanan. Sakti Wahyu Trenggono pernah menjabat Bendahara PAN pada 2009-2013 dan pernah menjadi Bendahara Tim Pemenangan Jokowi dalam Pilkada Solo.

Iwan Darmawan Aras merupakan elit Gerindra yang menjawab Wakil Ketua Komisi Infrastruktur DPR dari Fraksi Partai Gerindra. Ia juga pemilik PT Maradeka Karya Semesta, perusahaan yang baru terjun di bisnis lobster setelah Menteri KKP dijabat Edhy Prabowo.

Selain perusahaan orang-orang Gerindra, ada pula perusahaan orang-orang PKS dan mantan PKS yang memiliki sejarah panjang kedekatan dengan Gerindra.

Ada PT Alam Laut Agung  yang dikuasi politisi PKS Lalu Suryade. Saat ini Lalu hendak maju bertarung dalam Pilkada Lombok Tengah. Kabupaten ini merupakan salah satu sentra produksi lobster -- juga akan dijadikan sentra produksi  benih lobster.

Jangan pula terlewati, sahabat Fadli Zon, Fahri Hamzah. Fahri pemilik saham PT Nusa Tenggara Budidaya.

Nah, gara-gara banyaknya orang-orang Gerindra dan teman dekat Gerindra di balik perusahaan-perusahaan yang mendapat izin ekspor benih lobster dari Kementerian KKP, dalam kepala saya selalu terngiang-ngiang suara Prabowo dari masa kampanye Pilpres 2019. "Bocor ... bocor ... elit mukpentip, muka penuh tipu-tipu."

Maka saya kira baik adanya jika Prabowo turut bersuara. Ia perlu meluruskan kembali gagasannya dahulu, membuat terang maksudnya, mana yang boleh disebut bocor, mana yang dikecualikan; juga seperti apa contoh konkrit elit mukpentip, mana yang boleh dan yang tidak disebut begitu.

Perkara ini harus Prabowo yang jelaskan sebab ia yang dianggap masih punya kredibilitas. Banyak elit Gerindra sudah berkomentar tetapi kental standar ganda. Mereka nyaring menyerang stafsus milenial yang bisnisnya terlibat proyek Kartu Prakerja, tetapi ketika segerombolan mereka nikmati ruang dalam proyek KKP, ramai-ramai membela diri dengan argumentasi ini bisnis murni.

Semoga dalam waktu singkat Prabowo bisa memberikan penjelasan sebagai bentuk pertangungjawaban kata-katanya dahulu. Seorang kesatria adalah a man of his words, selaras ucapan dan tindakannya. Pinokio itu boneka kayu, bukan ksatria.***

Sumber:

[1] Republika.co.id (01/4/2019) "Prabowo: Banyak Elite Politik yang Mukpentip". 

[2] Tempo.co (19/6/2020) "Ekspor Benih Lobster Diduga Tak Bayar PNBP, Ini Penjelasan KKP". 

[3] Tempo.co (06/7/2020) "KPK dan KPPU Diminta Usut Pemberian Izin Ekspor Benih Lobster ".

[4] Tempo.co (05/7/2020) "Kader Gerindra di Balik Perusahaan Eksportir Benih Lobster" 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun