Tetapi Polri adalah institusi, bahkan satu-satunya institusi yang diberikan kekuasaan oleh konstitusi untuk memaksa (represi) warga negara mempertanggungjawabkan kejahatannya di depan hukum. Artinya tak ada rintangan yang bisa menghambat Polri --kecuali perintah Presiden-- untuk menyeret Novel ke pengadilan.
Ketidakjelasan proses hukum terhadap Novel merupakan wujud ketiadaan komitmen Polri untuk menindak anggota sendiri.
Bagaimana sebaiknya rakyat menyikapi rendahnya tuntutan jaksa terhadap pelaku penganiayaan Novel Baswedan?
Sebenarnya label Novel sebagai penjahat itu kurang fair. Hingga saat ini belum pernah ada putusan pengadilan bersifat tetap yang menyatakan Novel sungguh menembak para korban. Ini sebabnya kata penjahat selalu saya beri tanda petik.
Tetapi baiklah kita bersasumsi bahwa benar sesuai rekonstruksi polisi pada 2015, Novel menembak empat rakyat di Bengkulu. Untuk itu, tidak bisa tidak, Novel adalah seorang penjahat, bad cop.
Pertanyaannya, apakah penjahat tidak layak mendapatkan keadilan?
Tentu saja layak. Bahkan wajib sebab demikian perintah konstitusi.
Apakah boleh seorang maling jemuran dirajam hingga tewas?
Sudah pasti tidak! Maling berhak mendapat keadilan.
Pertama, kejahatannya harus diadili dalam peradilan yang fair, bukan dengan digebuk ramai-ramai. Kedua, jika ia digebuk, pelakunya harus diadili dan mendapat hukuman setimpal.
Novel penjahat, sebagaimana kita asumsikan demikian, tetapi sebagai penjahat pun ia berhak atas peradilan yang fair dan hukum yang beradab jika terbukti bersalah. Penyiraman air keras hanya ada dalam masyarakat barbar.
Demikian pula sebagai penjahat, Novel tetap punyak hak mendapatkan keadilan atas tindak kejahatan yang ia alami.