Kita tentu tahu bagaimana lingkungan kerja di banyak --artinya bukan semua-- kantor dan pabrik di Indonesia. Sungguh tidak nyaman. Buruh duduk berhimpitan dalam ruang yang panas dan pengap. Dalam kondisi demikian, ketika buruh aktif dalam kapasitas maksimum, sulit menciptakan jarak aman 1 meter antar buruh.
Dalam protokol masa transisi yang diterbitkan Anies Baswedan -Pergub DKI 51/2020 Tentang Pelaksanaan PSBB pada Masa Transisi Menuju Masyarakat Sehat, Aman, dan Produktif- ketentuan dalam Keputusan Menkes diatur lebih konkrit, yaitu "menerapkan batasan kapasitas jumlah orang paling banyak 50% yang berada dalam tempat kerja dalam waktu yang bersamaan" dan konsekuensinya "melakukan pengaturan hari kerja, jam kerja, shift kerja dan sistem kerja."
Pembatasan 50 persen kapasitas buruh yang dipekerjaan dalam waktu bersamaan membuat physical distancing masuk akal dan mudah diawasi. Jika pemerintah hendak mengecek kepatuhan perusahaan terhadap physical distancing, tinggal cek saja penerapan pembatasan 50% kapasitas.
Hal baik lain, dalam Pergub 51/2020 juga ada larangan memberhentikan pekerja yang harus menjalani isolasi Mandiri atau Karantina Mandiri.
Ketiga, kejelasan sanksi yang beradab.
Pergub 51/2020 mengatur, setiap orang yang tidak melaksanakan kewajiban menggunakan masker pada saat beraktivitas di luar rumah dikenakan sanksi berupa kerja sosial membersihkan sarana fasilitas umum dengan mengenakan rompi; atau denda administratif sebesar Rp 250.000.
Pengenaan sanksi kerja sosial dilaksanakan oleh Satpol PP dan dapat didampingi oleh unsur Kepolisian dan atau TNI.
Kejelasan jenis sanksi ini penting untuk menghindari praktik pelanggaran HAM saat aparat menegakkan protokol.Â
Dalam artikel "New Normal, Cemasi TNI, Malah Satpol PP yang Bikin Ulah" saya ceritakan maraknya pemberian sanksi push-up di Nusa Tenggara Timur, bahkan terjadi tindak kekerasan pemukulan terhadap orang-orang yang tidak mengenakan masker.
Saya sampaikan pula bahwa indikator militerisme dalam penegakan protokol bukan pada pelibatan aparatur TNI melainkan pada bentuk-bentuk sanksi yang diterapkan, apakah mengacu pada hukum sipil (sipil berpadanan dengan beradab) atau bentuk-bentuk sanksi kedisiplinan yang berlaku di kalangan militer.
Kejelasan bentuk sanksi yang diberikan (kerja sosial atau denda), menghindarkan aparat dan masyarakat dari melakukan atau menjadi korban pelanggaran HAM.