'Nganga' kata orang etnis Lio di Flores, dugaan saya semakna 'namkak' versi orang Dawan di Timor, kurang lebih merupakan umpatan kepada orang telmi 'telat mikir'.
Sebenarnya, oleh kekesalan yang buncah, saya ingin mengumpat demikian kepada Pemerintah di Nusa Tenggara Timur. Tetapi karena sadar itu tidak santun, saya pendam saja dalam hati. Saya merasa lebih berguna membahas penyebab timbulnya rasa kesal itu.
Begini ... saya merasa kebijakan Pemprov NTT dalam menangani pandemi Covid-19 ini dalam sejumlah aspek tertentu bagaikan orang yang buru-buru mencari payung saat sudah basah kuyup. Padahal semenjak duduk di sekolah dasar, rakyat Indonesia sudah diperkenalkan dengan kebijakan 'sedia payung sebelum hujan'.
Kebijakan 'tergopoh-gopoh cari payung setelah basah kuyup' tampak misalnya dalam pewajiban karantina terpusat terhadap orang-orang yang baru tiba dari luar NTT. Kebijakan ini baru hendak dieksekusi Pemprov setelah pasien terkonfirmasi positif Covid-19 di NTT mencapai 30 orang, 1 kasus transmisi lokal (penularan terjadi di NTT, bukan kasus impor lagi), dan 1 orang meninggal. Demikian status kasus Covid-19 NTT sebagaimana diumumkan jubir Gugus Tugas di NTT, 13 Mei kemarin.
Diberitakan Antara (14/05/2020), Wakil Gubenur NTT Josef Nae Soi menyatakan Pemerintah NTT memutuskan mewajibkan  ODP dan PDP yang baru tiba di Kota Kupang untuk melakukan karantina terpusat selama 14 hari setelah tiba di Kupang.
"Kami telah mengantisipasi kedatangan ODP dan PDP dari daerah yang telah terpapar COVID-19 dengan melakukan karantina secara terpusat," kata Josef A Nae Soi.[1]
Bertalian dengan keputusan mewajibkan karantina terpusat, Pemprov NTT menjadikan Rumah Sakit Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana sebagai balai karantina terpusat bagi ODP dan PDP yang tiba di Kupang dari luar daerah.
Kebijakan ini bermanfaat dan penting. Apalagi mengingat 4.200 orang buruh migran Indonesia akan dipulangkan ke Nusa Tenggara Timur pada akhir Mei 2020.[3]
Tetapi pernyataannya, mengapa baru sekarang, Nyong?
Antisipasi itu artinya bertindak mempersiapkan diri sebelumnya, bukan setelah babak-belur seperti ini, Om Pamarentah!
Sejak Januari saya -- juga banyak orang -- sudah teriak-teriak tentang pentingnya tindakan kekarantinaan terhadap arus masuk manusia dari luar NTT.
Tindakan kekarantinaan yang paling tepat dan manusiawi bukan dengan penutupan akses, melainkan menyiapkan balai karantina sebagai buffer zone, sebagai medium filter agar hanya orang-orang yang bebas virus corona yang benar-benar menginjakkan kaki di NTT. Yang dalam kondisi sakit harus disehatkan dulu di Balai Karantina.
Kini, setelah terjadi transmisi lokal, setalah sejumlah kota/kabupaten di NTT tergolong zona merah, barulah balai karantina dipersiapkan untuk menapis pendatang. Bah, hujan sudah membasahi tubuh hingga ke balik celana dalam baru kita panik cari payung.
Mau mengumpat, "Nganga!" Eh takut dosa.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H