Ketika gerai Mc Donald berdiri bersebelahan dengan KFC di Kota Kupang, NTT, anak saya dengan takjub berkata, "Look, Papa! American business war in our city. How it can be? Two of the biggest American fastfood companies competing right next to each other."
Sebagai bocah 10 tahun, ia penikmat ayam goreng original KFC dan Big Mac. Maka ucapan spontannya neutral point of view. Ia melontarkannya tanpa tendensi apapun. Ia sekadar takjub akan kenyataan dunia, bahwa dua raksasa waralaba restoran siap saji asal negeri Donald Trump bisa berebutan konsumen di kota kecil kami.
Tetapi di kuping saya, seruan itu terdengar sebagai tamparan atau setidaknya sindiran, "Apa kerjaan generasimu, Papa, sampai soal selera pun kita dijajah? Apa kerjaanmu, sampai spot paling strategis ruang kota ini jatuh ke tangan waralaba asing, bukan ke kedai jagung bose dan sei babi?"
Kabar yang ramai beberapa hari ini, penutupan gerai McDonald di Sarinah, mengingatkan saya pada dialog ayah-anak dua tahun lalu itu---karena itu, tadi saya minta anak saya mengingat lagi kalimat yang ia ucapkan dahulu. Ia menuliskannya disertai catatan "Ini tidak persis seperti yang saya katakan dahulu."
Gerai McDonald "Itu tempat nongkrong paling ramai di Sarinah ... karena murah. Restoran-restoran Indonesia di Sarinah mahal-mahal," kata istri saya. Ia memberikan perspektif mengapa banyak orang Jakarta memprotes penutupan McDonald.
Baiklah. 'Karena murah' akan menjadi catatan kaki. Tetapi 'karena murah' tidak menutup kenyataan bahwa keberadaan McDonald di Sarinah adalah ironi keterjajahan ruang dan selera kita.
Bagaimana tidak ironis? Seperti halnya Coca-Cola dan KFC, McDonald adalah simbol kejayaan imperialisme, adalah duta Old Established Forces (Oldefo). Simbol itu bercokol di Sarinah yang dibangun sebagai ikon kebangkitan New Emerging Forces (Nefo).
Sarinah Departement Store atau Toserba Sarinah, nama mula-mulanya, dibangun pada 17 Agustus 1962 dan dibuka bagi masyarakat umum pada 15 Agustus 1966. Ia adalah proyek kontroversial sebab pusat perbelanjaan modern pertama di Indonesia--saat Singapura dan Malaysia masih negara jajahan-- itu dibangun saat kondisi ekonomi Indonesia sedang mega-megap oleh krisis ekonomi hebat 1958-1959.
Ketika itu pembangunan di Indonesia bersandar pada pembayaran pampasan perang Jepang dan bantuan Uni Soviet. Tetapi Soekarno malah menggunakan uang pampasan perang tersebut untuk membangun pusat perbelajaan megah yang tergolong pertama di Asia Tenggara.
Kehadiran Sarinah harus dipandang dari dua ranah: ekonomi dan politik