Saya bukan pengagum dirinya. Bukan karena tak suka lagu dangdut. Saya cuma tidak tertarik pada seni bertema sedih-sedih meneriakkan putus cinta. Tetapi di Kalibata dahulu, jika sedang berkumpul bersama kawan-kawan, menikmati pletok, lagu Stasiun Balapan selalu dinyanyikan, bahkan bisa 3-4 kali.
Dionisius Prasetyo namanya. Ketika hijrah ke Jakarta di penghujung 1980an, Kempot ditambahkan sebagai nama panggungnya. Rupanya Kempot singkatan Kelompok Pengamen Trotoar, grup musiknya yang menemaninya hijrah dari Surakarta. Khalayak pun mengenalnya sebagai Didi Kempot.
Pagi barusan, saat sedang entri data untuk sebuah kerjaan riset kebijakan penanganan Covid-19, notifikasi Kompas muncul di pojok layar laptop. "Didi Kempot Meninggal Dunia."
Saya segera berhenti mengetik. Mengheningkan cipta sebentar, mengenang lagu stasiun Solo-Balapannya yang selalu dinyanyikan kawan-kawan sambil fly oleh bir pletok yang dibeli dari kedai tenda di Tebet, dan sesekali jika sedang beruntung disertai sebatang gulungan tembakau Aceh pemberian supir truk barang lintasprovinsi.
Tetapi bukan kenangan kebersamaan masa lampau bersama kawan-kawan yang membuat saya harus mengheningkan cipta untuk Didi Kempot.
Saya punya keyakinan, orang-orang yang berkarya hingga akhir hayatnya adalah orang-orang suci, atau minimal orang baik dan benar.
Itu sebabnya Romo Mangunwijaya meninggal di pangkuan Kang Ahmad Sobari saat berbicara dalam sebuah diskusi. Orang suci meninggal saat masih berkarya, memberikan seluruh dirinya kepada kehidupan.
Itu pula yang saya rasakan saat almarhum Pater Yan Mejang, mantan rektor Unwira meninggal. Dua hari sebelum kematiannya, saya masih sempat mengunjungi beliau di klinik tempat beliau memberikan pelayanan pengobatan alternatif.
Mata dan wajahnya kelihatan sangat lelah. "Jangan lupa kesehatan sendiri, Om Tuang. Istirahat," kata saya. Dua hari kemudian, kabar duka itu datang.
Itu pula yang saya rasakan saat nenek saya, ibunda ayah saya meninggal. Hingga akhir hayatnya nenek masih merawat sawahnya, memberi sebagian besar hasil panen kepada anak-anak dan cucu-cucunya.
"Mengapa padi-padi ini masih ditanam?" Tanya saya heran melihat sejumlah jenis padi yang hanya ditanam sendikit saja pada satu petak khusus.
"Kalau tidak ditanam, mereka punah. Kita petani, harus jaga mereka," katanya.
Lalu kini Dionisius Prasetyo 'Kempot', pergi selamanya, tiba di stasiun akhirnya setelah pada April pekan lalu mengadakan konser amal  untuk membantu masyarakat yang terdampak virus corona ( Covid-19).
Konser itu dilakukan secara "social distancing', diadakan di rumah Didi Kempot dan disiarkan Kompas TV.
Entah berapa hasil akhir dana yang terkumpul. Sebelum konser ditutup, dana yang terkumpul sudah melampaui 7,5 miliar. Luar biasa.[1]Â
Kabarnya semalam, sebelum meninggal pagi hari tadi, Didi masih berkerja di studio rekaman, mempersiapkan lagu yang akan dinyanyikan bersama Yuni Shara. Kepergian abadinya pagi ini tanpa gejala sakit.[2] Tiada seorang yang direpotkan. Ia berkarya hingga akhir hayat. Sungguh, ia orang baik dan benar.
Saya teringat Dionisius, Uskup Paris pertama yang meninggal sebagai martir. Kepalanya dipenggal pasukan Romawi saat mewartakan Kabar Gembira keselamatan.
Saya juga teringat Dionisius lainnya, yang juga mati digorok dan dipukul pecah kepalanya di Aceh pada 27 November 1938. Ia juga meninggal saat mewartakan Kabar Gembira Keselamatan Umat Manusia.
Kini Dionisius Kempot pergi selamanya. Ia berhenti membuat gembira para 'sobat ambyar'-nya, Sadboys dan Sadgirls yang hanya bisa melupakan luka hati oleh cinta tak terbalas atau terkhianati saat larut dalam lagu-lagu Dionisius Kempot.
Selamat jalan, Bro.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H