Kebetulan Hari Puisi Nasional dan waktu menulis sedang jadi kemewahan tak tergapai. Saya kira baiklah kiranya demi memeriahkan momentum ini, saya poskan saja artikel lawas ini, bahan yang disajikan dalam Peluncuran dan Bincang Buku Ekaristi Karya Mario F. Lawi Kupang, 28 Agustus 2014 silam. Artikel ini sudah pernah saya taruh di platform lain, pakai nama GHK.
Disclaimer
Sastrawan kita Ragil Sukriwul sedang di lembah terdalam mood-nya ketika pada suatu siang --selepas mendiskusikan rencana gaya Iron Man pada kaosnya. Sungguh, ia konsumen saya yang paling cerewet dan demanding-- meminta saya turut mengulas buku puisi terbaru Mario Lawi pada acara Baomong Buku dan Bahasa (Babasa) ke-10.
Saya adalah pilihan putus asa Ragil ketika mungkin orang-orang kompeten terlampau sibuk untuk diminta sedikit saja gratiskan waktu. Atau bisa jadi Ragil sedang sungguh kere, henpon dan motornya kehabisan napas, tak sanggup mengontak orang-orang hebat.
Saya bukan pengrajin puisi. Bahwa sesekali bikin puisi atau yang menurut saya itu puisi, adalah ya. Bukankah setiap orang berpuisi?
Saya bukan pula kritikus sastra, meskipun kehidupan tentunya membentuk setiap orang menjadi kritikus alamiah atas segala sesuatu. Tidakkah bentuk primitif dari klasifikasi --diajarkan sejak kita kanak-kanak merangkak--adalah pada suka tak suka, baik atau buruk, boleh atau jangan?
Saya juga bukan penikmat dan pemerhati sastra yang bersungguh-sungguh, apalagi pada tumbuhkembang dunia sastra NTT. Bahkan baru jauh-jauh hari kemudian saya tahu jika adik bungsu saya Filio mulai rajin menulis puisi pada surat kabar dan Santarang. Beliau sudah almarhum, berpulang ke rumah Bapa pada usia sangat belia tepat pada hari yang sudah ia perkirakan dalam puisinya.
Karena itu Saudara-saudara, komentar-komentar saya terhadap Ekaristi Sang Mario Lawi mewakili pendangan penikmat sastra amatiran. Basisnya sungguh subjektif, melekat erat pada cara pandang dan cita rasa pribadi.
Setiap kita punya cara pandang unik, berbeda satu dengan lainnya. Cara pandang itu--kalau mau keren bunyikan sebagai persepsi---seperti DNA. Bedanya jika DNA berperan biologis, dalam tubuh yang sunyi membentuk fisik yang unik, maka persepsi adalah bentukan dunia sosial yang ramai, yang membangun sikap mental --cara memaknai, berpikir, berperasaaan, hingga akhirnya bertindak---yang secara dialektis menanggap balik realita sosial.
Dunia sosial itu material sifatnya. Ia adalah orang-orang, buku-buku bacaan, dongeng terkisah, kotbah dan wejangan, informasi dan peristiwa, serta pengalaman-pengalaman konkrit yang menyentuh kita sejak dikandung ibu hingga detik terkini.