Saya sudah pernah cerita dalam artikel “Kami yang Babak Belur Dihantam Dampak Ekonomi Pandemi Corona” bagaimana para pekerja nonpermanen kerah putih pun banyak yang terpaksa menganggur karena eksekusi pekerjaan harus ditunda lembaga pemberi kerja. Untuk para pekerja nonpermanen di lembaga-lembaga non-profit, salah satu sebabnya adalah dana diprioritaskan bagi emergency response pandemi.
Baca juga: "Tentang Jihad Gedangan dalam Surat Kartini untuk Rosa Manuela"
Aneh bukan?
Semangat RUU Cipta Kerja adalah mendorong seluas-luasnya pekerja Indonesia alih status menjadi pekerja non-permanen, bahkan alih daya (outsourcing). Tetapi ketika krisis melanda, para pekerja tipe ini—yang kelak menjadi mayoritas dalam komposisi model pengupahan Indonesia—sama sekali tidak dipikirkan.
Sungguh, program yang lahir dari penalaran compang-camping dan tidak sadar kondisi, inkonsisten akut.
Program Jaring Pengaman Lain Juga Demikian
Bukan cuma program Kartu Prakerja yang menunjukkan inkonsitensi kronis pembuatan kebijakan. Sejumlah program lain pun menggambarkan benak yang compang-camping adanya.
Sejumlah kawan yang bekerja di lembaga nonprofit dengan pengupahan berbasis projek, harus menganggur sementara sebab fase lanjut projek mereka tertunda untuk masa waktu tak tentu, menunggu pandemi mereda dan anggaran bisa kembali direalokasi--belum tentu pula demikian--ke projek tersebut.
Beberapa di antara kawan ini, warga ibu kota, bercerita, mereka mengajukan restrukturisasi utang ke bank, minta moratorium cicilan dengan atau tanpa penghentian sementara bunga.
Menghadapi permintaan tersebut, customer service bank plangak-plongok. Setelah bolak-balik konsultasi ke pimpinannya, si customer service menjawab, kawan-kawan itu tidak termasuk dalam target program peringanan cicilan utang sebab tidak ada dalam manual juklak-juknis yang diberikan pemerintah.
Kawan-kawan ini, oleh tingkat upah yang sedikit lebih baik dari umumnya pekerja kerah biru, digolongkan oleh bank sebagai pekerja tetap. Padahal sebagian besar pekerja di lembaga-lembaga nonprofit dipekerjakan by project yang durasinya 1 bulan hingga 3 tahun. Selepas masa kontrak, mereka harus berjibaku mencari peluang lain yang syukur-syukur bisa segera didapatkan setelah 2-3 bulan berjeda tanpa pekerjaan.
Dengan kondisi ini, tidak heran jika saya selalu merasa mules membaca pernyataan pendukung RUU Cipta Kerja di media sosial bahwa omnibus law cipta kerja bertujuan menyejahterakan buruh.