Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Indonesia Darurat Konsistensi Kebijakan, Kartu Prakerja vs RUU Cipta Kerja

21 April 2020   07:29 Diperbarui: 2 Mei 2020   02:06 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengangguran dampak pandemi [ilustrasi, socialist-alliance.org]

Bangsa ini kelewat banyak krisisnya, macam-macam kondisi daruratnya. Salah satunya darurat konsistensi kebijakan. Contoh terkini adalah pertentangan antara cara pandang arus utama dalam RUU Cipta Kerja versus Kartu Prakerja.

Semangat dasar di balik RUU Cipta Kerja—khusus cluster ketenagakerjaannya—adalah liberalisasi pasar tenaga kerja dengan mengadopsi sepenuh-penuhnya kelenturan pasar tenaga kerja. Hal ditandai oleh pasal-pasal yang membolehkan relasi kontrak kerja waktu tertentu (buruh kontrak) seluas-luasnya, tanpa dibatasi jenis pekerjaan dan waktu, dan outsourcing yang juga seluas-luasnya.

Jika RUU Cipta Kerja kelak berlaku—jika aspek regulasi ketenagakerjaannya tidak jadi dicoret DPR dari dim—maka wajah masa depan pasar tenaga kerja Indonesia adalah buruh-buruh non-standard employment. Mayoritas pekerja akan berupa buruh nonpermanen.

Liberalisasi pasar tenaga kerja--berupa penerapan masif kelenturan pasar--menjadi siasat pilihan pemerintah untuk mengatasi jurang lebar antara ketersediaan lapangan kerja yang kian terbatas oleh resesi dan periode panjang deindustrialisasi dengan kelimpahan pasokan tenaga kerja oleh kondisi bonus demografi.

Dogma atau credo fundamental di balik kebijakan ini adalah lapangan kerja hanya mungkin tersedia jika regulasi ketenagakerjaan mengikuti tuntutan investor.

Untuk lebih jelas tentang ini, agar tidak mengulang-ulang pembahasan, baca saja artikel-artikel yang published Februari 2009 di link ini.

Dalam kesempatan ini, saya tidak lagi membahas kritik terhadap agenda pelenturan pasar tenaga kerja. Sudah lelah bergunjing  aib haluan neoliberal ini pada Februari lalu. Kini saya justru ingin menggugat konsistensi platform neoliberal pemerintah.

Andai pemerintah konsisten, andai regulasi ketenagakerjaan bukan sekadar kebijakan tambal sulam yang membebek begitu saja kehendak kapital internasional, maka pelenturan pasar tenaga kerja seharusnya mengarus utama, tercermin pula dalam kebijakan-kebijakan lain. Misalnya dalam persyaratan penerima program Kartu Prakerja dan sejumlah program jaring pengaman sosial lain terkait pandemi Covid-19.

Sekarang mari periksa perspektif di balik program Kartu Prakerja.

Dalam situsnya, prakerja.go.id, terpatri rumusan ideal. Sangat manis bunyinya.

“Kartu Prakerja tidak hanya untuk mereka yang sedang mencari pekerjaan, namun juga buruh, karyawan dan pegawai. Pendeknya, semua warga bangsa yang berusia 18 tahun ke atas dan tidak sedang sekolah atau kuliah, boleh mendaftar.”

Baca juga: "Anehnya Pernyataan Stafsus Menteri BUMN tentang Mafia Pemaksa Impor"

Ini mirip program yang diperjuangkan Partai Buruh Selandia Baru sejak sebelum Jacinda Ardern memenangkan pemilihan Perdana Menteri pada 2017 silam.

Saat itu, saya baca dalam newsletter milik salah seorang anggota DPR dari Partai Buruh--salah satu dapil di Wellington||, partai itu memperjuangkan hak setiap buruh untuk mendapatkan jeda kerja selama 3 tahun guna menempuh pendidikan lanjut.

Buruh boleh mengikuti program dan jenis pendidikan apapun, mulai dari kursus profesional, pendidikan vokasi, hingga studi doktoral. Semuanya dibiayai penuh oleh negara, termasuk kompensasi upahnya.

Tujuan program tersebut adalah peningkatan daya saing kelas pekerja Selandia Baru di era globalisasi terkini dengan revolusi industri 4.0-nya.

Seperti ini pula kesan Program Kartu Prakerja jika mengikuti rumusan indah di websitenya. Jauh lebih maju dibandingkan program-program unemployment benefit negara-negara Eropa.

Tetapi sudah lazim di Indonesia, lain yang tertulis, lain tetek bengek persyaratan yang berlaku dalam kenyataan.

Dengan alasan pandemi Covid-19, pemerintah memprioritaskan program ini bagi calon pekerja kalangan milenial dan buruh korban PHK. Khusus untuk korban PHK, saat ini pemerintah sedang mengumpulkan data dari Kementerian Tenaga Kerja.[1]

Lihatlah! Para pekerja non-permanen sama sekali tidak dipedulikan.

Bagi pekerja nonpermanen—di Indonesia disebut buruh kontrak. Untuk buruh kerah putih sering diselubungi istilah manis, konsultan—problemnya bukan PHK melainkan setelah kontrak kerja yang lama habis masa berlakunya, kontrak baru tidak tersedia, baik di tempat kerja yang sama, atau peluang kerja baru di tempat lain. Oleh pandemi Covid-19, pabrik-pabrik dan lembaga-lembaga gulung tikar atau berhenti beroperasi untuk sementara waktu atau menunda sejumlah pekerjaan.

Tetapi program Kartu Prakerja sama sekali tidak menyasar pekerja nonpermanen dengan kesulitan yang khas ini. Persepsi para pembuat kebijakan hanya berkutat buruh permanen yang kena PHK, bertolak belakang dengan fundamental RUU Cipta Kerja.

Saya sudah pernah cerita dalam artikel “Kami yang Babak Belur Dihantam Dampak Ekonomi Pandemi Corona” bagaimana para pekerja nonpermanen kerah putih pun banyak yang terpaksa menganggur karena eksekusi pekerjaan harus ditunda lembaga pemberi kerja. Untuk para pekerja nonpermanen di lembaga-lembaga non-profit, salah satu sebabnya adalah dana diprioritaskan bagi emergency response pandemi.

Baca juga: "Tentang Jihad Gedangan dalam Surat Kartini untuk Rosa Manuela"

Aneh bukan?

Semangat RUU Cipta Kerja adalah mendorong seluas-luasnya pekerja Indonesia alih status menjadi pekerja non-permanen, bahkan alih daya (outsourcing). Tetapi ketika krisis melanda, para pekerja tipe ini—yang kelak menjadi mayoritas dalam komposisi model pengupahan Indonesia—sama sekali tidak dipikirkan.

Sungguh, program yang lahir dari penalaran compang-camping dan tidak sadar kondisi, inkonsisten akut.

Program Jaring Pengaman Lain Juga Demikian

Bukan cuma program Kartu Prakerja yang menunjukkan inkonsitensi kronis pembuatan kebijakan. Sejumlah program lain pun menggambarkan benak yang compang-camping adanya.

Sejumlah kawan yang bekerja di lembaga nonprofit dengan pengupahan berbasis projek, harus menganggur sementara sebab fase lanjut projek mereka tertunda untuk masa waktu tak tentu, menunggu pandemi mereda dan anggaran bisa kembali direalokasi--belum tentu pula demikian--ke projek tersebut.

Beberapa di antara kawan ini, warga ibu kota, bercerita, mereka mengajukan restrukturisasi utang ke bank, minta moratorium cicilan dengan atau tanpa penghentian sementara bunga.

Menghadapi permintaan tersebut, customer service bank plangak-plongok. Setelah bolak-balik konsultasi ke pimpinannya, si customer service menjawab, kawan-kawan itu tidak termasuk dalam target program peringanan cicilan utang sebab tidak ada dalam manual juklak-juknis yang diberikan pemerintah.

Kawan-kawan ini, oleh tingkat upah yang sedikit lebih baik dari umumnya pekerja kerah biru, digolongkan oleh bank sebagai pekerja tetap. Padahal sebagian besar pekerja di lembaga-lembaga nonprofit dipekerjakan by project yang durasinya 1 bulan hingga 3 tahun. Selepas masa kontrak, mereka harus berjibaku mencari peluang lain yang syukur-syukur bisa segera didapatkan setelah 2-3 bulan berjeda tanpa pekerjaan.

Dengan kondisi ini, tidak heran jika saya selalu merasa mules membaca pernyataan pendukung RUU Cipta Kerja di media sosial bahwa omnibus law cipta kerja bertujuan menyejahterakan buruh.

Masa pandemi ini adalah bukti, para pekerja non-standard employment adalah korban terlupakan dari liberalisasi ugal-ugalan dan tak bertanggungjawab. S*cks!

Baca Pula: "Bahaya Jika Skema Kartu Prakerja Seperti dalam Cerpen"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun