Asumsi harga (per kg) yang dipakai adalah harga dalam format (tahap olahan) yang berlaku di tingkat petani (farmer gate) di Alor.
Dengah hasil yang kecil, jangan heran jika pada 2018 luas tanam baru (angka luas tanaman yang belum berproduksi) tanaman kemiri hanya 5.41% dari luas tanam yang telah berproduksi.Â
Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan luas tanam baru komoditas lain, seperti mente (30,48%), kelapa, (40,33%), vanili (17,76%), kopi (25,31%), dan cengkeh (68,28%).
Dengan kata lain, kemiri di Alor---sekalipun masyarakat mengklaimnya sebagai sumber pendapatan utama---sudah masuk senja kala. Tanpa peningkatan pendapatan, tanaman ini kelak bisa saja ditebang, yang berarti kehilangan fungsi konservasi lingkungannya.
Bukan harga jual rendah yang menyebabkan kemiri tidak memberikan penghasilan yang cukup bagi petani di Alor. Harga vanili di NTT tergolong tinggi, selalu lebih tinggi dibandingkan rata-rata harga nasional.
Harga rata-rata kemiri kupas---dari data harga 10 provinsi penghasil utama kemiri---pada 2017 adalah Rp 16.941 per kg (tertinggi di Sumut, Rp 22.254; dan terendah di Sulut, Rp 12,730). Sementara harga di NTT Rp 17.696 per kg (Diolah dari data Subdirektorat Statistik Harga Pedesaan, 2017).
Yang jadi sebab rendahnya pendapatan petani Alor dari menjual kemiri adalah mayoritas petani menjual kemiri dalam bentuk masih disertai cangkang (kemiri batu/gelondongan), yang harganya 5,000 per kg.
Andai petani menjual dalam bentuk kemiri kupas, mereka akan memperoleh harga Rp 30.000 per kg untuk kemiri kupas utuh dan Rp 15.000 per kg untuk kemiri kupas pecah.
Petani memilih menjual kemiri batu selain karena menganggap pengupasan cangkang merepotkan, juga karena ketiadaan teknologi dan teknik yang proper menyebabkan tingkat pecah tinggi.Â
Dengan harga kemiri pecah yang cuma separuh harga kemiri kupas utuh, petani merasa keuntungan yang diperoleh dari pengupasan cangkang tidak sebanding dengan kerepotan atau tambahan biaya untuk membayar pekerja.
Padahal, dengan proporsi kemiri kupas utuh 40% saja, dengan rendemen daging biji 37%, pendapatan petani bisa meningkat dari Rp 2,7 juta per ha lahan menjadi 4,3 juta.