Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kami yang Babak Belur Dihantam Efek Ekonomi Covid-19

6 April 2020   15:12 Diperbarui: 2 Mei 2020   02:00 979
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi jasa angkut [nyewain.com]

Namanya Mikael, disapa Meki. Ia supir truk pick-up angkutan barang yang mangkal di Jalan Bundaran PU, Kota Kupang. Di sini nama Meki sudah umum, jangan berpikiran ke benda lain-lain yang mungkin bernama serupa.

Wajah Meki berseri-seri ketika saya menanyakan berapa tarif angkutan barang dari Kelurahan TDM ke Pondok Indah Matani.

"Terserah Bapak saja, mau kasih berapa," katanya.

"Bagaimana jika 60ribu? Hanya angkut piano," Saya menawar dengan harga lima tahun lalu. Saya tidak punya cukup duit untuk membayar lebih mahal.

"Tambah 10 lah, Pak," pintanya.

"Ok, 70 ribu ya?"

Deal!

Setelah tiba, barang diturunkan, saya mengajak ngobrol Meki dan buruh angkut yang Meki pekerjakan. Konjak, istilah orang Kupang untuk kenek atau kondektur. Menilik perawakannya, saya duga kenek si Meki ii masih remaja.

"Bagaimana kondisi sekarang? Banyak yang pakai jasa muatan barang?"

"Aduh, Pak. Bapak orang pertama hari ini yang pakai oto -maksudnya yang menyewa jasa angkutnya-.Sejak tadi kami belum dapat uang, dari pagi belum merokok."

"Sudah sejak kapan susah begini?"

"Sudah dua bulan, Pak. Gara-gara virus."

"Kalau sebelum masa virus corona ini bagaimana?"

"Biasanya jam begini kami sudah dapat 3 rit---3 kali muatan---jadi sudah ada untuk setoran ke bos, dan ada lebihnya untuk kami pakai makan di warung. Sekarang sudah hampir jam makan siang. Kalau tadi Bapak tidak ada, kami harus lari ke kos untuk makan."

Baca juga: "Pening Membaca Permenkes PSBB, Jangan-Jangan Salah Ketik Lagi"

Meki berasal dari Bena di Kabupaten TTS. Ia merantau ke Kota Kupang untuk bekerja. Ia bujangan, tinggal sediri di kos yang ia sewa seharga Rp 250.000 per bulan.

Mula-mula Meki supir angkutan kota, angkot. Tetapi karena penumpang angkot kian jarang, sudah sebulan lalu Meki minta juragan-nya agar dipindahkan menyupir pick up angkutan barang. Kebetulan supir pick-up sebelumnya sudah mundur, memilih pulang ke kampung semenjak musim tanam lalu.

Rupanya keputusan Meki tepat. Dua minggu setelah ia pindah pos, si juragan memberhentikan operasi 9 unit angkotnya.

Kata Meki, pendapatan dari angkot jatuh jadi sangat kecil. Sehari dapat Rp 200 ribu sudah lumayan. Yang Rp 150.000 dipakai membeli bensin. Tersisa Rp 50ribu sebagai setoran ke juragan.

Juragan Meki menggaji para supirnya dengan sistem bagi hasil. Kalau sebulan setoran mencapai Rp 4 juta, supir mendapat Rp 800.000.

Berarti bagi hasilnya 20 persen untuk supir. Itu di luar uang bensin. Berarti kalau setoran angkot Rp 50.000 (tidak termasuk bensin), per 30 hari total setoran cuma Rp 1,5 juta; yang diterima supir di akhir bulan hanya Rp 300 ribu.

Bukan cuma supir yang kesulitan, juragan pemilik angkot pun tekor. Dengan setoran Rp 50ribu per hari, untuk mengganti ban mobil pun juragan harus nombok, mengambil dari pos lain. Karena itulah sudah sebulan ini juragan Melki memutuskan menghentikan operasi 9 unit angkot-nya.

Baca juga: "Menguak Beda Sikap Luhut Panjaitan terhadap Said Didu dan Faisal Basri"

Kata Meki, di masa normal, sebagai supir angkot ia biasa menyetor Rp 150.000 - Rp 200.000 per hari di luar bensin. Itu standar setoran yang diminta majikan. Jika mendapat lebih dari itu, misalnya Rp 300ribu di luar bensin, yang Rp 100ribu tidak Meki setorkan.

Kalau angkutan barang, kondisinya masih lebih baik sebab tidak terlalu banyak butuh solar. Kalau tidak ada pengguna, mobil ngetem, ya solar tidak habis.

Meski begitu, bukan berarti pendapatan supir angkutan barang baik-baik saja.

Pada masa normal, saat tiba jam makan siang, Meki biasanya sudah dapat hingga 3 rit. Itu berarti sudah ada buat setoran ke majikan. Ia tinggal mencari untuk dirinya dan seorang buruh angkut yang membantunya, sebagai tambahan gaji bagi hasil 20% dari majikan di akhir bulan.

Tetapi sejak virus corona ini merebak, sekalipun belum ada kasus positif di Kupang, permintaan penggunaan jasa angkutan barang jatuh drastis.

Kini sehari mendapat 2 order angkut barang sudah sangat beruntung. Tidak jarang Melki tidak dapat uang sama sekali meski ngetem sejak jam 7 pagi hingga hari mulai gelap.

Bulan ini Meki terpaksa minta bantuan pangan dari ayah-ibunya di kampung. Ia dikirimi 20 kg jagung. Padahal masa-masa yang lalu, Meki-lah yang mengirimi orang tuanya uang.

Selama ini jasa angkutan barang palingbanyak digunakan orang-orang yang sedang membangun rumah. Mereka butuh truk pick-up untuk mengangkut bata, kerikil, dan pasir. Itu sebabnya Meki ngetem di depan pusat penjualan kerikil atau sirtu.

Lebih ke hulu, para pengusaha batako juga sedang kesulitan. Dua pekan lalu beberapa kerabat yang punya usaha batako mengaku akan berhenti berjualan batako sebab permintaan juga turun drastis.

Kata mereka itu karena banyak proyek pembangunan perumahan bersubsidi berhenti sementara sebab pemerintah mengurangi alokasi subsidi. Uangnya mau dipakai untuk mengatasi pademi covid-19. Saya tidak tahu dari mana mereka mendapat informasi ini.

Bukan cuma para pengusaha dan pekerja informal kerah biru seperti Meki yang kena imbas ekonomi dari pandemi ini. Pekerja non-permanen kerah putih, yang biasanya disebut konsultan, juga babak belur.

Per 1 April ini seharusnya saya sudah mulai mengerjakan desk study pemasaran dan rantai niai untuk 8 komoditi perkebunan, dan 1 studi lapangan. 

Tetapi pada akhir Maret, program offficer lembaga pemberi projek menginformasikan projek ditunda hingga waktu tak tentu sebab anggaran harus direalokasi untuk emergency respon Covid-19.

Sialnya, sebagai pekerja non-permanen kerah putih, saya tidak bisa menikmati bantuan jaring pengaman yang disampaikan Presiden Joko Widodo. Bahkan sekadar 50% potongan biaya listrik pun tidak.

Baca Juga: ""Resistance", Perlawanan Pasif Kaum Yahudi Prancis, dan Covid-19"

Benarlah yang dikeluhkan banyak orang. Yang paling terjepit dari kondisi kemunduran ekonomi adalah golongan yang di tengah, yang posisinya hanya beberapa milimeter di atas garis kemiskinan.

Tekanan pada perekonomian menyebabkan kami tergelincir ke bawah garis kemiskinan. Tetapi negara birokratis ini tidak bisa cepat merespon perubahan kondisi ekonomi warganya.

 Kami tidak bisa seketika masuk dalam data penerima safety net. Kami jatuh bebas di tanah yang keras! Kami seperti golongan masyarakat tanpa negara, tanpa pemerintah yang peduli.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun