"Sudah sejak kapan susah begini?"
"Sudah dua bulan, Pak. Gara-gara virus."
"Kalau sebelum masa virus corona ini bagaimana?"
"Biasanya jam begini kami sudah dapat 3 rit---3 kali muatan---jadi sudah ada untuk setoran ke bos, dan ada lebihnya untuk kami pakai makan di warung. Sekarang sudah hampir jam makan siang. Kalau tadi Bapak tidak ada, kami harus lari ke kos untuk makan."
Baca juga: "Pening Membaca Permenkes PSBB, Jangan-Jangan Salah Ketik Lagi"
Meki berasal dari Bena di Kabupaten TTS. Ia merantau ke Kota Kupang untuk bekerja. Ia bujangan, tinggal sediri di kos yang ia sewa seharga Rp 250.000 per bulan.
Mula-mula Meki supir angkutan kota, angkot. Tetapi karena penumpang angkot kian jarang, sudah sebulan lalu Meki minta juragan-nya agar dipindahkan menyupir pick up angkutan barang. Kebetulan supir pick-up sebelumnya sudah mundur, memilih pulang ke kampung semenjak musim tanam lalu.
Rupanya keputusan Meki tepat. Dua minggu setelah ia pindah pos, si juragan memberhentikan operasi 9 unit angkotnya.
Kata Meki, pendapatan dari angkot jatuh jadi sangat kecil. Sehari dapat Rp 200 ribu sudah lumayan. Yang Rp 150.000 dipakai membeli bensin. Tersisa Rp 50ribu sebagai setoran ke juragan.
Juragan Meki menggaji para supirnya dengan sistem bagi hasil. Kalau sebulan setoran mencapai Rp 4 juta, supir mendapat Rp 800.000.
Berarti bagi hasilnya 20 persen untuk supir. Itu di luar uang bensin. Berarti kalau setoran angkot Rp 50.000 (tidak termasuk bensin), per 30 hari total setoran cuma Rp 1,5 juta; yang diterima supir di akhir bulan hanya Rp 300 ribu.
Bukan cuma supir yang kesulitan, juragan pemilik angkot pun tekor. Dengan setoran Rp 50ribu per hari, untuk mengganti ban mobil pun juragan harus nombok, mengambil dari pos lain. Karena itulah sudah sebulan ini juragan Melki memutuskan menghentikan operasi 9 unit angkot-nya.