Dalam film The Avenger ada adegan Loki memerintahkan orang-orang berlutut.
“I said… kneel! Is not this simpler? Is this not your natural state? It’s the unspoken truth of humanity that you crave subjugation. The bright lure of freedom diminishes your life’s joy in a mad scramble for power. For identity. You were made to be ruled. In the end, you will always kneel.”
Loki, tokoh antagonis, saudara angkat Thor si dewa geledek itu berpandangan manusia adalah spesies yang secara natural mencintai kondisi diperintah-perintah. Kebebasan tidak membuat manusia berbahagia. Manusia mendamba kehadiran otoritas yang bisa memaksa apa yang harus dilakukan dan apa yang jangan. Manusia mendamba penaklukan.
Andai tuhan-tuhan masa lampau orang-orang Norse, suku-suku utara bangsa Germanik itu sungguh ada, tentu saat ini Loki sedang berdebat dengan Thor di beranda Asgard sambil membaca berita-berita pandemik Corona di Indonesia.
“Lu lihat kan, Thor. Gue bilang juga apa, manusia itu lebih senang dipaksa-paksa otoritas daripada menggunakan kebebasannya secara bertanggungjawab,” kata Loki kepada Thor sambil menunjukkan artikel berita tentang tuntutan kepada Presiden Joko Widodo untuk memberlakukan lockdown kota dan provinsi yang terjangkiti virus corona.
Thor tidak akan bisa membantah. Loki benar. Kebijakan physical distancing--sebelumnya disebut social distancing--pada prinsipnya adalah pemberian kebebasan kepada warga negara untuk bertanggungjawab terhadap diri sendiri dan orang lain.
Warga negara diharapkan kesadarannya untuk terlibat memutus mata rantai penyebaran virus corona dengan membatasi diri berada di keramaian. Pemerintah membantu dengan kebijakan sekolah dan kerja di rumah. Dengan begitu hanya untuk keperluan mendesak saja, termasuk jika terpaksa masih harus mencari nafkah, orang-orang berada di luar rumah.
Namun rupanya warga negara terbelah menjadi 3 kelompok besar. Pertama adalah orang-orang yang sungguh-sungguh mengikuti seruan pemerintah, membatasi diri dalam rumah, melakukan karantina mandiri.
Kelompok kedua adalah kaum masa bodoh, orang-orang yang malah menghabiskan waktu dengan kumpul-kumpul di cafe, jalan-jalan ke pantai, dan beragam aktivitas tidak mendesak lain.
Sebagian dari antara kelompok kedua ini membenarkan sikapnya dengan membawa-bawa nama Tuhan. Seolah-olah Tuhan sama tidak rasionalnya dengan mereka. Seolah-olah, oleh kencangnya seruan mereka pada Tuhan, tubuh mereka diberi kekebalan khusus sehingga tidak akan terjangkiti virus corona.
Orang-orang ini bukan cuma tidak bertanggungjawab atas hidupnya—yang mungkin ia rasa sudah tak berarti lagi—tetapi juga membahayakan kehidupan orang lain.
Jika 14 hari kebijakan sekolah dan kerja dari rumah gagal menekan laju penyebaran virus corona, maka penanganannya akan kian sulit. Itu berarti lebih banyak sumber daya publik harus dikorbankan; banyak angggaran pembangunan yang dialihkan peruntukannya ke perang melawan corona; segenap bangsa yang menanggung dampaknya.
Kelompok ketiga adalah orang-orang yang terlampau risau akan kondisi dan karenanya mendesak pemerintah memberlakukan karantina kawasan atau lockdown.
Tidak bisa disalahkan juga orang-orang yang terlampau risau ini. Mereka menuntut lockdown mungkin karena melihat banyak orang tidak patuh melakukan karantina mandiri.
Kelompok kedua dan ketiga adalah orang-orang yang seperti kata Loki, punya kecenderungan alamiah crave subjugation, 'mendamba penaklukan,' menyerahkan kebebasannya, tanggungjawabnya, agar diperintah (dipaksa) oleh otoritas.
Mungkin saja karena banyaknya orang-orang yang mendamba penaklukan, kekuasaan Soeharto dulu bisa bertahan 30an tahun.
Ah, semoga itu tidak benar. Semoga, seiring kian tua usia republik, kian banyak orang-orang Indonesia tahu menggunakan kebebasannya secara bertanggungjawab; tahu bertindak dengan benar tanpa harus dipaksa oleh otoritas. Hal ini akan teruji dalam hari-hari perang melawan Corona.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H