Pada Mei 2019, saya menemukan kenyataan memilukan. Di desa-desa sentra vanili, produksi hanya 70-440 kg per ha, sementara produktivitas per pokok vanili cuma berkisar seperempat kilogram.
Penyebabnya adalah rendahnya pengetahuan dan kedisplinan petani terhadap praktik budidaya yang baik dan benar (Good Agricultural Practices, GAP).
Vanili di sentra-sentra produksi tua di Alor ditanam di bawah naungan kopi, kemiri, dan tanaman lain. Ketika tanaman penaung kian tua, kanopi yang terbentuk dari rimbunan dahan dan daunnya kian tebal dan luas.Â
Banyak petani tidak melakukan pemangkasan rutin karena khawatir batang pohon pelindung merusak pokok vanili. Hasilnya, Fusarium batatatis menemukan lingkungan kondusif bagi tumbuh kembangnya. Busuk Batang Vanili pun merajalela.
Sejumlah petani melakukan pemangkasan tanaman pelindung semata-mata untuk menghindari kebun terlalu lembab. Mereka tidak memahami peran intensitas cahaya matahari terhadap fase pertumbuhan generatif vanili. Maka banyak pemangkasan dilakukan justru setelah musim pembungaan. Dampaknya pembungaan tidak optimal, yang berujung pada rendahnya produktivitas per pohon.
Demikian pula pemangkasan sulur vanili. Sejumlah petani  melakukan pemangkasan hanya berdasarkan pertimbangan agar panjang sulur tidak mencapai 5 meter.Â
Sedikit saja yang memahami hubungan antara pemangkasan sulur dan karakter pembungaan vanili; yaitu bahwa pemangkasan sulur sebaiknya dilakukan terhadap ruas-ruas yang telah berbunga atau berbuah sebab setiap ruas hanya berbunga sekali.Â
Nah, dalam konteks ini, peningkatan kepasitas petani melalui penyuluhan GAP bisa berdampak pada peningkatan pendapatan mereka. Setidaknya jika produktivitas per pokok dapat dikembalikan ke era jayanya, peningkatan pendapatan petani vanili di Alor bisa mencapai 4 kali lipat.
Artinya, tanpa utak-atik posisi petani dalam rantai nilai; tanpa  introdusir supporting system baru; tanpa integrasi horizontal pun vertikal, petani yang berstatus chain actor bisa ditingkatkan pendapatannya. Hal ini bisa dilakukan lewat pola pemberdayaan tradisional yang biasa dilakukan pemerintah atau LSM.
Pentingnya pendekatan Value Chain Development dalam konteks ini adalah memetakan bentuk layanan yang bisa diberikan mitra bisnis petani demi -sebagai gantinya- memperoleh peningkatan volume komoditas yang petani jual kepada mereka.Â
Selain itu, peningkatan kapasitas produksi adalah salah satu jalan kian mengintegrasikan petani ke dalam rantai nilai; membuat posisi individual mereka kian penting, sekalipun hanya sebagai chain actor.