Di Nusa Tenggara Timur, per 19 Maret sudah 24 Orang Dalam Pemantauan (ODP) Corona, 14 di antaranya di Kota Kupang, tempat domisili saya. Syukurlah hingga saat ini belum ada yang positif terjangkit coronavirus. Semoga akan demikian seterusnya
Tetapi belum ada yang positif belum tentu berarti tidak ada. Selalu terbuka kemungkinan di luar sana, berlalu-lalang di kota ini, orang-orang yang dalam tubuhnya virus Corona telah bersarang dan sedang menggandakan dirinya. Maka selalu ada kemungkinan terjangkit ketika keluar rumah.
Demikian pula sangat mungkin corona telah bersarang dalam diri saya, dan akan meloncat ke tubuh-tubuh lain di kota ini ketika saya berada di tengah keramaian atau berjumpa 1-2 orang lain.
Istri saya baru balik dari Jakarta 3 hari lalu. Menurut kesadarannya, ia tidak pernah kontak fisik dengan orang-orang poisitif corona. Tetapi kita tidak pernah tahu persis soal ini sebab orang-orang yang tampak sehat, tidak menunjukkan gejala di luar sana, yang dijumpainya saat masih di Jakarta, pun dalam penerbangan pula adalah tubuh-tubuh yang telah diinvasi virus Corona.
Selain itu perjumpaan saya dengan 1-2 orang sebelumnya, meski tanpa kontak fisik dan ketat menjaga jarak, dan orang-orang itu tidak ke mana-mana berbulan-bulan terakhir, siapa bisa menjamin para pihak sungguh bebas dari corona?
Sudah beberapa hari putra kami menderita semacam bintitan. Dadiok kata orang Kupang. Hordeolum kata dokter yang kemudian memeriksanya.
Andai barang itu menimpa diri kita sendiri, akan dengan mudah kita mengabaikannya. Toh, biasanya seminggu juga hilang sendiri.
Tetapi lain soal jika hal seperti itu menimpa anak kita.
Bagaimana jika bukan Hordeolum? Bagaimana jika itu bisul kecil di kelopak matanya itu barang yang lebih berbahaya?
Nama-nama penyakit mata mengerikan bermunculan. Sebagian tak pernah saya tahu wujudnya. Hanya tiba-tiba teringat namanya yang menyeramkan.Â
Misalnya Trachoma. Ya, bagaimana jika itu? Cemas bermain-main dalam hati, mengabaikan seruan ratio yang minta mengecek dahulu apakah gejalanya menunjukkan ke sana atau bukan.
Di sisi lain, membawa anak memeriksa ke dokter di rumah sakit pada hari-hari ini, saat coronavirus tiada henti menghiasai halaman depan surat kabar; memonopoli detik-detik di televisi; mengotori linimasa media sosial dan notifikasi website kabar daring, adalah seumpama mencampur kemeja sekolah ke sekeranjang kain tenun yang baru pertama kali akan dicuci.
Bagaimana jika saat berada di sana ia akan terjangkit coronavirus? Bagaimana jika sebaliknya saya dan dirinya -andai sial tubuh kami telah mengandung coronavirus- menjangkiti orang lain di sana?
Setelah banyak timbang, akhirnya diputuskan, saya membawa anak ke rumah sakit mata, tetapi dengan segala upaya yang mencegah kemungkinan tertular atau menularkan corona.
Siang hari saya terlebih dahulu mencari rumah sakit atau klinik mata yang sepi; mengecek jadwal dokter; lalu mendaftarkan anak saya. Dengan begitu kami tidak akan terlalu lama berada di rumah sakit dan tidak banyak berjumpa orang-orang.
Rumah Sakit khusus mata Kartini di Jalan Frans Seda jadi pilihan. Di siang hari tidak banyak pasien yang tampak di lobbi. Entahlah sore nanti. Dokter mata akan berpos di sana pukul 18.00. Saya mendaftarkan anak saya; lalu segera menjemputnya sebab tinggal 30 menit lagi sebelum pukul 18.00
Sebelum berangkat, kami melengkapi diri dengan alat dan bahan perlindungan diri: tisu basah berkandungan alkohol, hand sanitizer masing-masing sebotol; masker.
Di halaman rumah sakit, saya kasih ingatkan anak saya agar selalu menempatkan tangannya di dalam kantong celana. Itu untuk meminimalisir ia menyentuh barang-barang di rumah sakit. Saya pun selalu mengingatkan diri untuk hanya menyentuh hal-hal yang wajib disentuh.
Persis di pintu masuk, ada petugas yang mengecek suhu tubuh kami, lantas mempersilakan membersihkan tangan dengan cairan pembersih mengandung alkohol.
Suhu tubuh saya 35 derajat Celcius; anak saya 34,5. Bahu kami ditempeli stiker bersimbol bebas coronavirus.
Meski memuji si petugas, dalam hati saya tersenyum sambil mengomel kecil: mereka pikir kalau suhu tubuh saya normal, saya bersih virus corona.
Di dalam rumah sakit, ketika terpaksa menyentuh kursi, pegangan pintu, atau apapun, saya dan putra saya selalu menggunakan tissue basah agar kulit tangan kami tidak langsung bersentuhan dengan barang-barang itu.
Cukup mengecewakan, kursi-kursi di lobbi rumah sakit, tempat para pasien mengantri panggilan ke ruang-ruang klinik sesuai jenis keluhan, pun menunggu panggilan membayar dan menerima obat bagi yang telah diperiksa, tidak menunjukkan upaya pencegahan penularan virus corona.Â
Kursi-kursi tetap berderet rapat seperti semasa normal. Orang-orang di lobbi duduk berhimpitan. Sebagian mengenakan masker, lebih banyak yang tidak
Orang-orang yang tidak mengenakan masker tampaknya termakan kampanye "hanya yang sakit yang mengenakan masker."
Bagi saya kampanye tersebut merupakan upaya sesat untuk menutupi kegagalan membangun koordinasi dengan kalangan industri agar menggenjot produksi masker.
Orang sakit dan orang sehat wajib mengenakan masker di saat-saat seperti ini. Itu karena, pertama, tidak ada jaminan orang-orang tanpa gejala klinis bebas dari virus corona. Kedua, penduduk Republik +62 masih banyak belum paham etika batuk dan bersin.
Ketika akhirnya tiba giliran diperiksa, saya senang menemukan Bu dokter mengenakan masker. Matanya asyik dipandang. Saat begitu, beruntung juga istri tak ikut serta. Ehem.
Putra saya mungkin hendak menjaga sopan-santun saat menjawab pertanyaan dokter. Ia membuka maskernya tetapi si dokter buru-buru mengingatkan, "Pakai saja Adik ganteng. Kita harus terus waspada di saat begini. Banyak sekali yang meningggal di Jakarta."
Agar turut disapa ganteng, sekali saya juga membuka masker saat bicara pada dokter. Tetapi sia-sia. "Pakai saja Bapak ganteng," tidak pernah meloncat dari mulutnya. Maka selanjutnya saya pun selalu bicara dari balik masker.
Saat anak saya harus meletakkan dagunya pada mesin pemeriksa mata, saya buru-buru mencabut tisu basah dan membersihkannya. Si dokter memberi waktu saya melakukannya. Pancaran matanya seperti tersenyum setuju atau minimal memakluminya.
Syukurlah, dokter menyimpulkan, putra saya terkena hordeolum, bukannya lain-lain yang mencemaskan. Ia menuliskan resep obat tetes dan menanyakan apakah kami juga mau diberikan obat minum untuk mempercepat bisul kecil itu pecah. Kami menolaknya.
Begitulah. Sepanjang di rumah sakit, selain mengenakan masker, kami berusaha meminimalisir kontak antar kulit tangan dengan benda apapun. Jalannya adalah menyusupkan tangan ke dalam kantong celana. Ketika harus menyentuh sesuatu, misalnya gagang pintu, saya terlebih dahulu mengalasinya dengan tissue basah.
Setiba di rumah, mencuci tangan dan mengganti pakaian adalah hal pertama yang dilakukan.
Memang ribet dan terkesan sok. Tetapi demi tidak tertular dan tidak menulari, kita memang harus bersedia sedikit repot.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H