Di dalam rumah sakit, ketika terpaksa menyentuh kursi, pegangan pintu, atau apapun, saya dan putra saya selalu menggunakan tissue basah agar kulit tangan kami tidak langsung bersentuhan dengan barang-barang itu.
Cukup mengecewakan, kursi-kursi di lobbi rumah sakit, tempat para pasien mengantri panggilan ke ruang-ruang klinik sesuai jenis keluhan, pun menunggu panggilan membayar dan menerima obat bagi yang telah diperiksa, tidak menunjukkan upaya pencegahan penularan virus corona.Â
Kursi-kursi tetap berderet rapat seperti semasa normal. Orang-orang di lobbi duduk berhimpitan. Sebagian mengenakan masker, lebih banyak yang tidak
Orang-orang yang tidak mengenakan masker tampaknya termakan kampanye "hanya yang sakit yang mengenakan masker."
Bagi saya kampanye tersebut merupakan upaya sesat untuk menutupi kegagalan membangun koordinasi dengan kalangan industri agar menggenjot produksi masker.
Orang sakit dan orang sehat wajib mengenakan masker di saat-saat seperti ini. Itu karena, pertama, tidak ada jaminan orang-orang tanpa gejala klinis bebas dari virus corona. Kedua, penduduk Republik +62 masih banyak belum paham etika batuk dan bersin.
Ketika akhirnya tiba giliran diperiksa, saya senang menemukan Bu dokter mengenakan masker. Matanya asyik dipandang. Saat begitu, beruntung juga istri tak ikut serta. Ehem.
Putra saya mungkin hendak menjaga sopan-santun saat menjawab pertanyaan dokter. Ia membuka maskernya tetapi si dokter buru-buru mengingatkan, "Pakai saja Adik ganteng. Kita harus terus waspada di saat begini. Banyak sekali yang meningggal di Jakarta."
Agar turut disapa ganteng, sekali saya juga membuka masker saat bicara pada dokter. Tetapi sia-sia. "Pakai saja Bapak ganteng," tidak pernah meloncat dari mulutnya. Maka selanjutnya saya pun selalu bicara dari balik masker.
Saat anak saya harus meletakkan dagunya pada mesin pemeriksa mata, saya buru-buru mencabut tisu basah dan membersihkannya. Si dokter memberi waktu saya melakukannya. Pancaran matanya seperti tersenyum setuju atau minimal memakluminya.
Syukurlah, dokter menyimpulkan, putra saya terkena hordeolum, bukannya lain-lain yang mencemaskan. Ia menuliskan resep obat tetes dan menanyakan apakah kami juga mau diberikan obat minum untuk mempercepat bisul kecil itu pecah. Kami menolaknya.