Kadang-kadang peristiwa-peristiwa hadir saling lepas namun terjadi sedemikian rupa sehingga ketika dijejer mereka membentuk puisi. Sebuah puisi yang ditulis semesta untuk menertawakan kehidupan kita.
Selasa, 10 Maret, banyak media memberitakan permintaan maaf Raja Belanda Willem-Alexander kepada rakyat Indonesia. Permintaan maaf itu bukan terkait 350 tahun penjajahan, melainkan peristiwa-peristiwa kekerasan oleh Belanda setelah proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Setelah kemerdekaan, Belanda masih beberapa kali menumpahkan darah rakyat Nusantara. Di antaranya adalah dua kali agresi militer serta aksi Westerling di Sulsel dan angkatan Perang Ratu Adil di Bandung.
Permintaan maaf itu bagus -meminjam kata-kata Pak Mahfud MD yang kini mengomentari segalanya sebagai 'itu bagus'-, dan patut kita sambut baik meski Westerling hidup nyaman hingga meninggal dengan tenang di Belanda tanpa pernah diadili.
Lagi pula tiada guna memprotes soal Westerling tidak diadili kepada Raja Willem-Alexander. Saat Westerling meninggal (1987), Willem baru beberapa tahun boleh nyetir sendiri.
Bukan Westerling, melainkan pria berinisial EJ yang membuat peristiwa permintaan maaf Raja Willem menjadi bagai puisi.
Di hari yang sama dengan peristiwa permintaan maaf Raja Willem, media masa juga memberitakan EJ, warga negara Belanda yang punya rumah di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, memukul Soleman, nelayan setempat.
EJ melayangkan 3 bogem ke wajah Soleman, membuat pelipis mata kanan lelaki usia 50 tahun itu sobek dan wajahnya memar. Gara-gara itu, polisi menahan EJ di Mapolres Rote Ndao, sejak 8 Maret hingga 27 Maret nanti. Peristiwa pemukulan itu sendiri terjadi pada 4 Maret di sebuah hotel.
Pemukulan Soleman oleh EJ mengingatkan kita pada arogansi pembesar kompeni di film Jaka Sembung, Si Jampang, dan yang lainnya--lengkapi sendiri list-nya, saya malu ketahuan sudah tua.Â
Bedanya kali ini terjadi 75 tahun setelah Indonesia merdeka; dan beberapa hari sebelum Raja Willem minta maaf atas peristiwa-peristiwa kekerasan kolonial pascakemerdekaan.
Tidak perlu marah mengetahui peristiwa seperti ini. Biasa jadi tidak ada bias sentimen kolonial dalam diri EJ yan membuatnya merasa punya hak memukul rakyat setempat. EJ dan Soleman sedang sama-sama mabuk. Keduanya bertengkar. Soleman menyebut rumah EJ seperti sampah. EJ naik pitam, melayangkan pukulan.
Yang menarik, peristiwa ini membawa ingatan saya pada presentasi Fitri Ciptosari dalam salah satu sesi di hari ketiga Annual Conference on Social Justice (ACSJ) di Kupang, Desember 2019 silam.
Fitri, kompasianer yang kini mengajar di almamaternya, sebuah kampus di Salatiga adalah peneliti dan praktisi industri pariwisata.
Dalam pemaparannya saat konferensi, hal yang menarik tanggapan saya saat itu adalah soal kepemilikan warga negara asing terhadap lahan dan bangunan di kawasan wisata pantai di Rote.
Sebenarnya informasi ini bukan baru. Sudah lama saya mendengar jika bangunan-bangunan di Pantai Nembrala-Rote, di Labuan Bajo, dan di Alor itu dimiliki warga negara asing.Â
Mereka menikahi warga pulau seberang atau dari provinsi lain -banyak yang diduga cuma kawin kontrak- agar bisa membeli tanah dan membangun penginapan-penginapan eksklusif di kawasan wisata pantai.
Kondisi ini tentu bikin hati masam. Tetapi tiada guna menimpakan kesalahan kepada bule-bule itu. Kata Fitri, bule-bule itu justru merasa harus membeli dan membangun rumah atau penginapan di kawasan wisata pantai di NTT karena kasihan melihat pantai yang rusak tidak terawat dan tidak dimanfaatkan dengan baik.
Saya mengamini informasi Fitri sebab punya pengalaman materil dengan mantan serdadu angkatan laut Inggris yang jatuh cinta para perempuan Larantuka eks-TKI di Singapura.
Si serdadu yang berlibur setelah mundur dari kesatuannya pascatugas di Timur Tengah bertemu si gadis TKI di Singapura, jatuh cinta dan melamar nikah.Â
Gadis mensyaratkan serdadu mengikutinya pulang, tinggal sehidup-semati di Larantuka. Maka jadilah sepasang suami-istri beda kebangsaan ini membangun penginapan kecil indah di tepi pantai di Kota Larantuka.
Kamar yang menyerupai kapal, yang separuh bagiannya berdiri di atas air laut, adalah favorit saya. Suasanya bikin tentram. Di sela kerjaan, saya bahkan bisa menghasilkan sejumlah puisi di sana, seperti "Enyah Lara di Adonara,""Sejatinya Pantai," "Menjadi Anak-Anak Itu," dan "Seperti Perahu Bertambat Sauh."
Seminggu menginap di sana, saya selalu terlibat ngobrol malam dengan si bule. Ia banyak mengeluh tentang perilaku warga setempat yang tidak menghormati sumber daya alam yang tersedia melimpah; juga tentang pemerintah yang tidak punya usaha mengoptimalkan potensi yang ada.
"Kamu tahu, ke manapun kamu memandang di Flores ini, semuanya bisa menghasilkan uang. Tetapi kalian baru memanfaatkan tidak sampai 10 persen potensi yang ada. Saya tidak mengerti bagaimana pemerintah kalian berpikir," katanya suatu senja seusai memungut sampah beling di sepanjang garis pantai yang sepadan hotelnya.
"Lihat ini. Pecahan gelas di mana-mana. Kasihan anak-anak yang bermain di pantai," omelnya.
Ia mengklaim keputusannya menetap dan membangun hotel lebih didorong oleh semangat konservasi. Tentu saja ia juga butuh uang, dan karena itu ia berbisnis hotel kecil-kecilnya dan penyewaan alat surfing.
Ia ceritakan, sekian lama menyelam di perairan sekitar Larantuka, Adonara, dan Solor, ia memetakan banyak peninggalan bersejarah kapal-kapal perang Belanda dan Portugis, termasuk meriam-meriamnya. Tetapi ia hanya akan memberitahukan pemerintah setempat jika mereka sudah mendirikan museum.
"Kalau saya kasih tahu sekarang, barang-barang itu hanya akan dijual orang-orang tidak jelas. Anak-anak dan cucu-cucu tidak akan pernah tahu sejarah kampung mereka," katanya.
Ya. Demikianlah. Hidup ini, peristiwa-peristiwa yang saling lepas pisah, sering hadir sebagai puisi yang terbuka untuk ditafsirkan pun mengajak kita menertawakan kebodohan-kebodohan diri dan segala kesialan yang mengikutinya.Â
Kekayaan alam melimpah, yang baru kita optimalkan 10 persen, yang bikin gemas bule-bule, yang kemudian menguasainya sebab menurut mereka kita tidak bisa menjaga dan memanfaatkan secara bertanggngjawab.
Begitulah. Kita mungkin cuma jago menjual buruh murah dan izin tambang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H