Seminggu menginap di sana, saya selalu terlibat ngobrol malam dengan si bule. Ia banyak mengeluh tentang perilaku warga setempat yang tidak menghormati sumber daya alam yang tersedia melimpah; juga tentang pemerintah yang tidak punya usaha mengoptimalkan potensi yang ada.
"Kamu tahu, ke manapun kamu memandang di Flores ini, semuanya bisa menghasilkan uang. Tetapi kalian baru memanfaatkan tidak sampai 10 persen potensi yang ada. Saya tidak mengerti bagaimana pemerintah kalian berpikir," katanya suatu senja seusai memungut sampah beling di sepanjang garis pantai yang sepadan hotelnya.
"Lihat ini. Pecahan gelas di mana-mana. Kasihan anak-anak yang bermain di pantai," omelnya.
Ia mengklaim keputusannya menetap dan membangun hotel lebih didorong oleh semangat konservasi. Tentu saja ia juga butuh uang, dan karena itu ia berbisnis hotel kecil-kecilnya dan penyewaan alat surfing.
Ia ceritakan, sekian lama menyelam di perairan sekitar Larantuka, Adonara, dan Solor, ia memetakan banyak peninggalan bersejarah kapal-kapal perang Belanda dan Portugis, termasuk meriam-meriamnya. Tetapi ia hanya akan memberitahukan pemerintah setempat jika mereka sudah mendirikan museum.
"Kalau saya kasih tahu sekarang, barang-barang itu hanya akan dijual orang-orang tidak jelas. Anak-anak dan cucu-cucu tidak akan pernah tahu sejarah kampung mereka," katanya.
Ya. Demikianlah. Hidup ini, peristiwa-peristiwa yang saling lepas pisah, sering hadir sebagai puisi yang terbuka untuk ditafsirkan pun mengajak kita menertawakan kebodohan-kebodohan diri dan segala kesialan yang mengikutinya.Â
Kekayaan alam melimpah, yang baru kita optimalkan 10 persen, yang bikin gemas bule-bule, yang kemudian menguasainya sebab menurut mereka kita tidak bisa menjaga dan memanfaatkan secara bertanggngjawab.
Begitulah. Kita mungkin cuma jago menjual buruh murah dan izin tambang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H