Mereka memasukannya ke mobil yang punya lampu di atasnya, yang segera berlalu dengan suara meraung-raung seperti kucing minta pertolongan.
Para perempuan yang tadi menjauh saat ia diangkut ke luar kini kembali mengerubungi jalan depan rumah kami.
Seseorang di antara mereka menatap padaku, lalu berpaling kepada kawanannya. "Siapa yang akan memelihara si Putih?"
"Ibu Sinta saja, kan Kristen," seorang berpaling kepada mama si Yanto, bocah yang biasa datang bermain denganku.
"Saya khawatir, jangan-jangan Putih sudah terjangkit pula," kata mama si Yanto.
Lalu ibu-ibu itu buru-buru bubar, kembali ke rumah mereka.
***
Sudah 3 hari sejak ia dibawa pergi. Aku sangat kelaparan. Sesekali gigitan kutu-kutu meninggalkan rasa gatal yang menyebalkan. Mereka merajalela sebab hampir seminggu ini tak ada yang menyingkirkan dari tubuhku.
Aaah, mungkin di seberang sana ada tikus yang bisa kukejar. Atau adakah sisa makanan di tempat sampah di pojok jalan?
Tetapi aku khawatir, ia pulang saat aku tak berada di sini. Tentu akan sedih hatinya. Ia hanya punya diriku, dan dirinya satu-satunya keluargaku. Biarlah aku menunggu saja.
Seekor kucing menatap dari balik rimbun pagar kembang sepatu. Biasanya sudah kukejar dirinya. Bukan karena membenci kucing. Tidak sama sekali. Aku hanya tidak punya teman bermain. Kupikir kejar-kejaran dengan kucing tidak menyalahi kodratku.