Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Bagian 2] IWD dan Perempuan Buruh, Waktu Bercinta dan Omnibus Law Cipta Kerja

9 Maret 2020   08:28 Diperbarui: 9 Maret 2020   12:09 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tuntutan Pengguranan Jam Kerja Buruh Media [suara.com]

Dikisahkan, setelah melahirkan putri kedua, Kirsty mengajukan penyesuaian jadwal kerja. Permintaan tersebut ditolak kantornya. Kirsty naik banding dan menang.

Setelah kemenangan tersebut, Kirsty bisa menyesuaikan jam kerja dengan waktu yang dibutuhkan untuk bayinya. Tetapi Kirsty harus menukar kemenangan itu dengan kenyataan pahit: ia tidak mendapat penugasan. Kehadirannya di kantor seperti "masuk tak genap, keluar tak ganjil."

Merasa tertekan dengan kondisi itu, Kirsty memutuskan mundur dari PNS. Padahal ia telah menduduki jabatan di departemen hukum selama 13 tahun.

Heejung Chung dari University of Kent, Inggris dalam laporan risetnya, "'Women's work penalty' in access to flexible working arrangements across Europe," menemukan bahwa bertentangan dengan yang dipropagandakan, perempuan justru memiliki lebih sedikit akses dibandingkan lelaki dalam fleksibilitas bentuk kedua ini.

Kesulitan mendapatkan kesepakatan jadwal kerja menjadi sebab mengapa kaum perempuan lebih memilih bekerja paruh waktu.

Selain itu, para perempuan yang mendapatkan hak bekerja dari rumah, seringkali tidak dibayar sama besar dibandingkan laki-laki. Ketika perempuan bekerja dari rumah, mereka tidak bisa mengklaim kelebihan waktu kerja agar mendapat kompensasi uang lembur. Ini berbeda dengan buruh laki-laki.

Kondisi ini bisa terjadi karena stigma jender. Majikan memiliki prasangka kuno bahwa perempuan yang bekerja dari rumah tidak akan seproduktif laki-laki; perempuan yang bekerja dari rumah tidak akan bertindak profesional; ia akan mengkorupsi sebagian waktu kerja untuk urusan personal dan domestik.

Temuan Heejung Chung hampir sama seperti yang dinyatakan Laura Tyson, Profesor ekonomi di Universitas Berkely. Tyson menemukan  rata-rata di seluruh dunia, perempuan buruh yang punya anak 7% lebih rendah upahnya (motherhood penalty) dibandingkan buruh perempuan umumnya. Ini bertolak belakang dengan laki-laki buruh, kian banyak punya anak, kian besar upahnya.

Jadi, baik dalam fleksibilitas kontrak dan upah seperti yang diatur dalam RUU Cipta Kerja, pun fleksibilitas jadwal dan tempat kerja yang seharusnya menguntungkan buruh, kaum perempuan pekerja lebih banyak menderita dan sebaliknya lebih sedikit mendapat manfaat dibandingkan kaum laki-laki.

Kondisi ini mengingatkan saya pada teori pembentukan upah yang menyatukan Marx dan Ricardo. Keduanya sama-sama bilang, harga tenaga kerja akan berada di sekitar tingkat minimum. Jika menurut Marx buruh secara umum bisa menaikkan upahnya dengan menekan kapitalis, Ricardo katakan hanya sebagian buruh yang upahnya bisa lebih tinggi, sebab itu diperoleh dengan jalan menekan upah buruh lainnya.

Dahulu buruh-buruh di negara-negara pusat kapitalis bisa menikmati upah lebih tinggi sebab industri padat karya berpindah ke negara berkembang, menghisap nilai lebih secara berlebihan dari buruh berupah rendah di negara-negara tersebut. Jadi semacam subsidi silang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun