Sebelum membaca bagian kedua, baiknya Om-Tante membaca BAGIAN PERTAMA. Tanpa itu, Om-Tante bisa bisa salah konteks dan salah kaprah terhadap isi artikel.
________________
Bicara tentang fleksibilitas pasar tenaga kerja, kita perlu membedakan dua karakter utama fleksibilitas. Tanpa membedakan keduanya---seperti yang sering dilakukan dalam publikasi lembaga-lembaga yang mempromosikan rejim fleksibilitas atau neoliberalisme---kita akan misleading dalam memahami duduk persoalan.
Golongan pertama adalah fleksibilitas kontrak, terdiri dari pekerjaan temporer (di Indonesia secara informal disebut buruh kontrak, istilah formalnya kontrak waktu tertentu) dan pekerja paruh waktu. Pekerjaan outsourcing termasuk pula dalam kategori ini. Pekerjaan-pekerjaan ini tergolong non-standard employment (NSE).
Untuk hal pertama ini, tidak terbantahkan lagi, kelas pekerja dirugikan oleh job insecurity dan income insecurity. Semua penelitian yang ada, baik oleh kalangan kampus, pun lembaga-lembaga perburuhan (termasuk ILO), bahkan oleh lembega pembela fleksibilitas, menunjukkan bahwa kejatuhan tingkat kesejahteraan---sebab pekerjaan dan upah menjadi tidak tentu---merupakan trade off dari peningkatan kesempatan kerja oleh praktik masif kelenturan pasar tenaga kerja. Salah satu yang cukup baik dan simpel mengulas ini adalah kertas kerja Kim Van Eyck, "Flexibilizing Employment: An Overview" terbitan ILO.
Perluasan kontrak temporer dan outsourcing merupakan pokok regulasi dalam RUU Cipta Kerja. Tujuannya memang untuk meningkatkan ketersediaan lapangan kerja, tetapi sayangnya harus ditukar dengan jatuhnya tingkat kesejahteraan buruh.
OECD, organisasi negara-negara Eropa yang didirikan untuk mempromosikan pasar bebas menerbitkan brief berjudul "Be Flexible! Background brief on how workplace flexibility can help European employees to balance work and family." Dalam brief ini disebutkan, perempuan buruh Eropa yang bekerja paruh waktu 3 kali lebih banyak dibandingkan lelaki.
Ini adalah kenyataan pahit. Di negara-negara yang sudah matang kapitalismenya pun, parut patriarkis masih cukup dalam. Perempuan diposisikan sebagai yang paling bertanggungjawab atas urusan domestik dan karenanya jikapun bekerja cukuplah paruh waktu.
Kesimpulan ini pula yang ditemukan ILO dalam paper mereka, "Working time and the future of work." Tanggungjawab atas kerja domestik menjadi penyebab di seluruh dunia perempuan 2 kali lebih banyak yang bekerja paruh waktu dibandingkan laki-laki.
Nanti, dalam penelitian Heejung Chung kita akan tahu bahwa ternyata perempuan terpaksa bekerja paruh waktu karena dihambat aksesnya terhadap jadwal kerja fleksibel.