Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Saat Kekuasaan Dipamerkan di Jalan Raya

4 Maret 2020   21:50 Diperbarui: 5 Maret 2020   08:04 2132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: otorider.com

Rupanya selain cenderung korup, kekuasaan juga cenderung dipamerkan secara berlebihan. Sifat kekuasaan yang kedua ini mungkin cuma diidap pejabat negeri-negeri bekas jajahan. Saat naik pangkat dan posisi, mental campuran inlander-kolonialis mereka meronta-meronta ingin unjuk gigi, berpikir  inilah saatnya tampil seperti tuan-tuan bekas penjajah dahulu.

Siang, beberapa hari lalu... lampu merah Jalan El Tari baru saja berubah hijau, baru kira-kira 5-10 meter kedaraan-kendaraan kembali bergerak, ketika tiba-tiba mobil terdepan berhenti. Para pengendara kaget. Saya nyaris menubruk kendaraan di depan, beberapa sentimeter lagi, dan hampir pula diseruduk dari belakang.

Di belakang saya, seorang pengemudi mengumpat, "Babi!" berbaur bunyi decit ban dari barisan-barisan lebih jauh.

Rupanya seorang Polantas menghentikan tiba-tiba kendaraan pada jalur yang sedang hijau.

Sekitar semenit bertanya-tanya bingung dalam hati, dari arah Timur dua kendaraan melaju beriringan. Tidak ada bunyi sirine, tetapi seorang polisi bermotor di depan barisan dan sebuah mobil kijang -khalayak di sini menyebut semua yang bermoncong panjang sebagai kijang- bercat hijau tentara dengan kaca berlapis plat film hitam mengikuti di belakang, pertanda orang penting sedang lewat.

Yaelah. Ini orang penting sebegitu sibuk dan padatkah kegiatannya hingga 1-2 menit pun tidak boleh dibuang untuk mengikuti pola normal lampu merah? Halah, paling juga bertemu sebentar dengan sejumlah pejabat Pemda, sore hari ia dan rombongan sudah menikmati ikan bakar di resto pinggiran pantai.

Atau mungkin ia takut dibunuh kalau ikut berhenti di lampur merah? Haish. Memangnya dirinya sepenting dan sekontroversial Pak W*r*nto?

Waktu kecil dahulu saya pikir yang diperkenankan secara legal menerobos lampu merah dan mendapat pengawalan polisi hanya presiden, menteri-menteri, ketua MPR dan Ketua DPR, serta jenazah dan pasien gawat darurat yang diangkut ambulans.

Beberapa tahun terakhir ini, setelah hampir setiap minggu mengalami kejadian serupa, saya duga para pejabat kurang penting juga diberikan kesempatan mencicipi perlakuan istimewa, boleh mengubah lampu merah jadi hijau dan sebaliknya.

Sangkaan bahwa mereka tidak cukup penting -bukan presiden, menteri-menteri, dan para ketua lembaga tinggi negara,- disebabkan kedatangan mereka tidak diberitakan media massa sebelum dan sesudahnya. Selain itu, rombongannya pun hanya 1 motor polisi dan 1 mobil yang biasanya bercat hijau tentara.

Saya tidak tahu jika memang regulasi protokol pengawalan orang-orang besar sudah diubah menjadi lebih ramah pejabat menengah -namun kian bikin susah rakyat- atau ini terjadi karena ada kecenderungan nginjek ke bawah njilat ke atas, kekhasan birokrasi bermental kolonial campur inlander yang belum luntur.

Saya duga, yang kedua ini yang terjadi. Seorang pejabat tak cukup penting datang dari pusat, ingin memanfaatkan kesempatan menikmati bagaimana rasanya dianggap penting, melintasi jalan bebas hambatan setelah kendaraan-kendaraan rakyat disuruh menepi, diiringi sirine meraung-raung.

Mungkin di kepalanya menari-nari imajinasi tentang rakyat bertanya-tanya takjub, "Siapa itu orang penting yang barusan lewat?" "Oh, dialah pejabat penting dari pusat -meski sering bekerja di bawah pusat-, seorang Staf Asisten Wakil Sekretaris Deputi Menteri di kementerian anu.

Kerinduan si pejabat separuh penting dari pusat ini bertemu gairah menjilat di kalangan pejabat lembaga-lembaga di pemerintahan daerah; yang mau sedikit membelokkan aturan asalkan bisa menyenangkan si tuan tamu, plus membangun koneksi yang baik. Siapa tahu berguna untuk satu dua urusan terkait jabatan dan proyek di kemudian hari.

Dugaan saya beralasan sebab pernah pula mengetahui hal ajaib seperti ini.

Suatu ketika saya bertanya kepada seorang kawan yang tiba-tiba mendapat Surat Keputusan sebagai ketua pengurus tingkat kabupaten di sebuah partai politik. 

Ia menggantikan ketua lama tanpa proses musyawarah. Tiba-tiba saja, dua hari setelah kepulangan ketua tingkat provinsi dari kabupaten tersebut, SK untuk kawan tadi sudah terbit dan berlaku.

"Kok bisa?" tanya saya per telepon kepadanya.

"Eee, pas Pak Ketua datang, beta lobi dan sewa voorijder. Dari bandara Pak Ketua dijemput pakai jip terbuka, dikawal voorijder dan sirine keliling kota menuju tempat acara. Jajaran calon kepengurusan baru yang beta susun sudah tunggu di sana. Konsep SK sudah beta buat dan serahkan."

Si Ketua pengurus wilayah memang senang oleh penyambutan dirinya yang seperti pejabat tinggi negara. "Itu DPC baru memang hebat. Baru pernah Kaka disambut seperti ini. Pasti satu fraksi dari sana," katanya.

Ketika tiba pemilu (2014), partai itu hanya dapat 1 kursi di kabupaten tersebut, diraih si kawan tadi.

Kawan tadi memang paham psikologi orang-orang penting dan sanggup mengeksploitasinya dengan baik.

Saat mendengar ia tidak terpilih lagi dalam Pemilu 2020, saya menelpon untuk sampaikan empati, kalau disampaikan jadi simpati. Dari seberang ia tertawa-tawa dan katakan dirinya kini stafsus menteri di suatu kementerian.

Begitu sudah. Bukan cuma cenderung korup, orang-orang berkuasa juga punya kecenderungan berubah jadi selan***ngan, suka dielus-elus, dijilat-dijilat.

Sayangnya gara-gara itu, rakyat biasa harus banyak-banyak maklum pada risiko sering-sering nyaris tabrakan di jalanan sebab dihentikan tiba-tiba dari depan atau diserukan menepi dari samping.

"Anjing!" Umpat seorang aktivis dari Surabaya saat nyaris tertinggal pesawat jika tidak terpaksa lari sprint sambil pikul koper dari tempat parkir ke ruang check in bandara. 

Ia tertahan lama oleh kemacetan kendaraan yang berjejal menepi sebab orang separuh penting, Sekretaris Ajudan Bendahara Wakil Kepala Anu dari Mabes Anu harus diutamakan dan dibiarkan menikmati lempeng-nya jalan raya hasil pembangunan.

Lucunya, praktik mempertontonkan kekuasaan di jalan raya ini marak justru saat sebaliknya protokoler istana, pengawalan presiden sendiri sedang mengubah diri menjadi lebih ramah-rakyat. Yang benar-benar penting membungkuk, eh, yang separuh penting mendongak. Semoga keselek.

Cerpen | Lelaki Penulis yang Menikahi Imajinasi Sendiri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun