"Nggak masalah, Pak. Kalau UMP kan kita sudah tahu, setiap tahun naik, sudah bisa kita antisipasi di perubahan biaya.
Yang paling ditakuti Pak SA memang bukan UMP yang sudah bisa diprediksi pertahunnya itu. Yang paling ia takuti adalah kerja sama dengan pemerintah.
"Tetapi jangan sampai nanti mereka mau ke mana-mana telepon kita minta uang tiket, Pak? Biar mintanya kecil-kecil, tetapi itu kan tidak kita siapkan, tidak bisa diantisipasi."
Ini yang membuat ia selalu ragu untuk diajak mendorong dinas-dinas pemerintah bikin program pengadaan penampung air. Ia takut biaya tak terduganya.
Hal menarik lain, Pak SA tidak pernah mau diajak keluar dari bisnis intinya: konteiner plastik. Ayahnya dulu dirikan pabrik kontainer plastik di medan. Ia bikin pabrik kontainer plastik di Jakarta dan Lampung, serta kini di Kupang. Adik perempuannya bikin pabrik perabot rumah tangga berbahan plastik di Tangerang.
Segala urusan to adopt, to adapt, dan scalling up harus seputar kontainer plastik.
Yang paling dibutuhkan Pak SA bukan fleksibilitas pasar tenaga kerja seperti yang diatur dalam UU Cilaka. Yang paling Pak SA butuhkan adalah sewa tempat murah; jaminan listrik dan air; dan jaminan pasokan gas.
Ya, ngapain ia butuh fleksibilitas pasar tenaga kerja jika niatnya memang tanam kaki, investasi jangka panjang? Begitulah karakter kapitalis yang industrialis itu.
Karena itu, jika pemerintah benar-benar hendak menciptakan lapangan kerja jangka panjang, yang secure, yang menjamin buruh punya pekerjaan dan pendapatan tahan lama, pastikan ketersediaan air dan energi di kota-kota non-industri lama, dan sewa tempat yang masuk akal--jangan seperti harga sewa di kawasan industri Bolok di Kupang, yang jika tak salah ingat, sudah nyaris 1 M harus sekali ambil sewa 2 tahun pula.
Yang Pro-Fleksibilitas adalah Kapitalis Serabutan.
Kapitalisme melahirkan dua anak haram. Pertama adalah lumpen proletariat. Gampangnya ini adalah kelas sosial orang-orang yang terlempar dari proses produksi, menjadi jelata yang hidup dari meminta-minta dan dunia hitam.
Seiring perkembangan kapitalisme yang kian matang, lahir anak haram kedua: golongan kapitalis serabutan, kapitalis aji mumpung.Â