Kisah Lebih lengkap tentang Pemberontakan Kapal Tujuh bisa dibaca di artikel Berdikari Online. Sementara sosok Martin Paradja, pelaut NTT yang turut memimpin pemberontakan itu pernah "hidupkan kembali" sejahrawan Pieter Rohi dalam film "Ketika Bung di Ende."
Belanda yang ketakutan jika kabar pemberontakan di Seven Provincien menyebar dan menginspirasi perjuangan kemerdekaan pun pemogokan buruh yang lebih luas berupaya merahasiakan kabar tersebut, termasuk melarang media massa memberitakannya.
Pascapemberontakan Seven Provincien, pemerintah menjadi lebih otoriter dan anti-demokrasi. Serikat-serikat diawasi ketat; rapat-rapat umum dilarang; bahkan sejumlah tokoh pergerakan diasingkan, Soekarno ke Ende, lalu menyusul Hatta, Sjahrir, Tjipto Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri, dan sejumlah yang lainnya ke Boven Digul.
Dikaitkan dengan hari pers, sikap Soeara Oemoem yang memilih tetap memberitakan peristiwa Pemberontakan Seven Provincien meski menghadapi risiko pembreidelan dan pemenjaraan menunjukkan peran penting pers Indonesia sebagai media massa yang berpihak kepada kecemasan, harapan, dan kepentingan rakyat umum. Penjara tidak menggentarkan mereka; pengistimewaan oleh kekuasaan tidak menggoda mereka. Pendirian itu turutt berkontribusi besar terhadap kemerdekaan Indonesia.
"Bang? Waaroom moet ik bang zijn? Ik strijd voor een goede zaak ?" ( Takut? Mengapa saya harus takut? Saya berjuang untuk sesuatu yang baik), jawab Tjindarbumi ketika ditanya opsir Belanda soal penangkapannya (radarlamsel.com).
Nah, apakah pers Indonesia saat ini masih konsisten dengan karakter yang demikian itu?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI