Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Momentum Februari yang Lebih Penting Dikenang Pers Ketimbang Hari Lahir PWI

12 Februari 2020   04:36 Diperbarui: 12 Februari 2020   10:42 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keterlibatan Buruh Pers dalam May Day [Tempo.co]

Mempertahankan 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional menunjukkan pengaruh Orde Baru masih belum benar-benar lenyap. Begitu kira-kira kesimpulan seorang bernama pena Mahesa Danu dalam artikelnya di Berdikari Online, "Menggugat Hari Pers Nasional."

Saya setuju kesimpulan penulis itu, termasuk alasan-alasan yang ia gunakan, plus rekomendasinya agar Hari Pers Nasional diganti menjadi 1 Januari, hari lahir Medan Prijaji (1907).

Sejarahwan Pieter Rohi pada kolom komentar mengamini pula posisi artikel itu. Menurut Opa Pieter, meskipun sudah ada sejumlah koran berbahasa Melayu yang lebih dahulu terbit (seperti Pewarta Wolanda oleh Abdul Rivai pada 1900), kelahiran Medan Prijaji (oleh Tirto Adhi Soerjo) adalah pilar sejarah pers yag paling layak dijadikan hari peringatan pers nasional sebab "Medan Prijaji diterbitkan sebagai media pergerakan kebangsaan."

Jikapun mau mengacu pada pendirian perkumpulan pewarta sebagai rujukan hari pers, ada Inlandsche Journalisten Bond (IJB) yang lahir 1914, Sarekat Journalists Asia pada 1925, Perkoempoelan Kaoem Journalists (1931), atau Persatoean Djurnalis Indonesia (1940) yang kelahirannya lebih pantas dijadikan momentum peringatan hari pers dibandingkan PWI (1946). Problemnya bukan sekadar yang mana lahir duluan tetapi juga soal stigma bahwa selama masa Orba, PWI menjadi perpanjangan tangan penguasa dalam mengontrol media massa.

Tetapi tidak ingin terjebak dengan pro-kontra penetapan hari lahir PWI sebagai hari pers nasional, saya mengajak kita mengenang peristiwa penting lain di bulan Februari dalam sejarah bangsa ini, yang bagi saya bisa menjadi bahan permenungan rekan-rekan buruh media massa.

Gunawan Mohammad pernah menulis dalam Catatan Pinggir, pada 23 Juni 1933, Gubernur Jenderal Hindia Belanda menurunkan perintah pembreidelan koran Soeara Umum di Surabaya. Koran itu didirikan. Soetomo. Perintah pembreidelan itu menyusul perintah penangkapan terhadap wartawan Soeara Oemoem, Raden Aria Taher Tjindarbumi--sejumlah sumber menyebut Tjindarbumi adalah pemrednya--dan pemeriksaan terhadap dr. Soetomo di bulan Februari.

Pembreidelan Soeara Oemoem dan penangkapan Tjindar Bumi dilatarbelakangi laporan tentang pemberontakan di Kapal Tujuh yang ditulis Tjindar Bumi di Soeara Oemoem. Pemerintah menganggap artikel tersebut mengganggu ketertiban umum. Sudah jamak, bagi pengusa, makna dari ketertiban umum adalah kelanggengan kekuasaan.

Pemberontakan Kapal Tujuh dimulai pada 4 Februari 1933 oleh para kelasi berdarah Indonesia yang bergabung dalam Inlandsche Marine Bond (IMB), serikat buruh pelayaran berhaluan Marxist. Saat itu Kapal Tujuh atau Seven Provincien sedang berlabuh di Aceh. Pemberontakan ini berhasil dipatahkan pemerintah pada Jumat, 10 Februari 1933 di Selat Sunda dalam pelayaran Seven Provincien menuju Surabaya. Kapal itu dibom habis-habisan.

BACA! "Omnibus Law 'Cilaka" Ubah Cara Kita Kenalan"

Pemberontakan Seven Provincien dilatarbelakangi tuntutan ekonomis para pelaut yang menentang penurunan upah 17 persen (akibat krisis ekonomi global saat itu) dan perlakuan diskriminatif terhadap para pelaut pribumi. Meski demikian, tercium pula aroma kental nasionalisme dan tuntutan politik kemerdekaan Hindia Belanda. Di atas kapal yang telah dikuasai, para pelaut Indonesia dan sejumlah pelaut Belanda berhaluan Marxisme menyanyikan lagu Indonesia Raya, berselang-seling dengan lagu Internasionale.

Kisah Lebih lengkap tentang Pemberontakan Kapal Tujuh bisa dibaca di artikel Berdikari Online. Sementara sosok Martin Paradja, pelaut NTT yang turut memimpin pemberontakan itu pernah "hidupkan kembali" sejahrawan Pieter Rohi dalam film "Ketika Bung di Ende."


Belanda yang ketakutan jika kabar pemberontakan di Seven Provincien menyebar dan menginspirasi perjuangan kemerdekaan pun pemogokan buruh yang lebih luas berupaya merahasiakan kabar tersebut, termasuk melarang media massa memberitakannya.

Pascapemberontakan Seven Provincien, pemerintah menjadi lebih otoriter dan anti-demokrasi. Serikat-serikat diawasi ketat; rapat-rapat umum dilarang; bahkan sejumlah tokoh pergerakan diasingkan, Soekarno ke Ende, lalu menyusul Hatta, Sjahrir, Tjipto Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri, dan sejumlah yang lainnya ke Boven Digul.

Dikaitkan dengan hari pers, sikap Soeara Oemoem yang memilih tetap memberitakan peristiwa Pemberontakan Seven Provincien meski menghadapi risiko pembreidelan dan pemenjaraan menunjukkan peran penting pers Indonesia sebagai media massa yang berpihak kepada kecemasan, harapan, dan kepentingan rakyat umum. Penjara tidak menggentarkan mereka; pengistimewaan oleh kekuasaan tidak menggoda mereka. Pendirian itu turutt berkontribusi besar terhadap kemerdekaan Indonesia.

"Bang? Waaroom moet ik bang zijn? Ik strijd voor een goede zaak ?" ( Takut? Mengapa saya harus takut? Saya berjuang untuk sesuatu yang baik), jawab Tjindarbumi ketika ditanya opsir Belanda soal penangkapannya (radarlamsel.com).

Nah, apakah pers Indonesia saat ini masih konsisten dengan karakter yang demikian itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun