Ketiadaan regulasi yang mengatur hak-hak buruh NSE menyebabkan pengusaha bisa menentukan upah berdasarkan harga pasar yang memang selalu berada di tingkat minimum.
Risiko ketiga adalah kehilangan kontrol atas waktu. Adalah kontradiktif, sering kali undang-undang yang mengatur fleksibilitas kerja berlindung di balik topeng demi lebih banyak waktu bagi buruh untuk keluarga.
Yang sering terjadi, buruh-buruh NSE justru tidak memiliki jam kerja yang pasti karena umumnya dibayar per pekerjaan spesifik, bukan berdasarkan jam kerja. Bukannya memiliki lebih banyak waktu bersama anak-anak di rumah, buruh malah mengkorup jam bersama keluarga untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Banyak orang berpikir hanya buruh kerah biru yang menderita oleh peralihan status mereka menjadi buruh NSE, sementara buruh kerah putih justru lebih menikmati status NSE, sebagai kontraktor individual (konsultan).
Di pasar tenaga kerja kerah putih, harga tenaga kerja sering NSE memang sering lebih mahal. Untuk sebuah pekerjaan riset pasar sebuah komoditi yang butuh waktu sebulan misalnya, seorang konsultan dibayar minimal Rp 10 juta.
Bandingkan misalnya jika pekerjaan tersebut dikerjakan in-house oleh karyawan tetap di lembaga bersangkutan, yang berarti nilainya setara upah reguler bulanan yang diterima karyawan tersebut.
Tetapi anggapan tersebut tidak selalu benar. Banyak pula pekerja kerah putih berstatus NSE yang mengeluhkan rutinitas membuat curriculum vitae dan menjalani interview setiap hendak terlibat bidding pekerjaan atau jabatan temporer yang ditawarkan di pasar tenaga kerja.
Belum lagi bicara tentang kesulitan menyesuaikan perhatian terhadap keluarga dengan ritme pekerjaan yang sering menuntut banyak travelling bahkan pindah domisili untuk jangka waktu 6 bulan hingga 2 tahun.
Tetapi yang paling berat dari status sebagai buruh NSE adalah kepastian akan penghasilan. Tidak semua pekerja kerah putih, apalagi kerah biru, terjamin mendapatkan pekerjaan setiap saat.
Orang-orang dengan pekerjaan tetap seperti para PNS, tentu sulit membayangkan hidup dengan pertanyaan yang selalu menggantung, besok, pekan depan, bulan depan, atau tahun depan akan dapat kerja atau tidak? Dapat kerja apa dan di mana?
Artikel ini belum mempersoalkan keberadaan omnibus cilaka sebab hingga kini masih belum jelas apa yang sebenarnya diatur dalam undang-undang ini nantinya. Pemerintah masih sangat merahasiakannya dari kalangan buruh dan publik.