Lucunya, setelah ibu kota Kabupaten Kupang pindah ke Oelamasi--sekitar 40 km dari Kota Kupang--dan kantor PU kini lenyap berganti Hipermart, nama bundaran itu masih juga Bundaran PU. Bahkan jalan yang membentang sepanjang 2 km dari Taman Tirosa ke arah Selatan hingga bertemu Jalan W. J. Lalamentik disebut Jalan Bundaran PU. Entah kapan Pemkot mau berhenti latah mengikuti penyebutan kondektur angkot dan menggantinya dengan Jalan Tirosa atau yang lainnya.
#Tugu Terpenting yang Nyaris Dilupakan
Jika Anda masuk Kota Kupang melalui jalur laut, berkendaraan dari Pelabuhan Tenau, di ujung Jalan Pahlawan, setelah melewati Benteng Konkordia (kini markas YONIF 743), pada pertigaan tepat sebelum jembatan, terdapat tugu kecil berundak lima. Orang-orang Kupang menyebutnya Tugu Selam. Selam adalah nama kampung tempat tugu itu berada.
Ini kesalahan fatal yang bikin jengkel. Bagaimana bisa tugu sepenting itu bukan dikenali dengan nama aslinya, melainkan dengan nama kampung tempat keberadaannya?
Sebagian masyarakat mengenalnya dengan nama Tugu Pancasila. Itu pun masih salah. Andai sejarahwan Peter Rohi tidak terus-menerus mengingatkan, mungkin tak ada lagi yang tahu sejarah asli tugu itu.
Jangankan generasi masa kini, Ketua MUI NTT, Abdul Kadir Makarim yang sudah tinggal di Kupang semenjak 1963 pun baru tahu sejarah dan nama asli tugu itu pada 10 Desember 2017 setelah mendengar ulasan Peter Rohi dalam malam peringatan Hari HAM di sana. Puluhan tahun lamanya Abdul Makarim mengenal tugu tersebut sebagai Tugu Pancasila (SeputarNTT.com, 11/12/2017).
Menurut Sejahrawan Peter Rohi, nama yang benar adaah Tugu Hak Asasi Manusia, atau aslinya  Tugu Four Freedom.
Tugu ini dibangun pahlawan perang kemerdekaan asal Kota Kupang, Max Rihi. Ia adalah pemimpin para pejuang NTT yang terlibat mempertahankan Surabaya dalam pertempuran 10 November 1945.
Pascapertempuran Surabaya, Max Rihi dan para pejuang NTT mendengar Belanda dan Australia (sekutu) mendarat di Kupang dan menjadikan Benteng Konkordia sebagai markas pendudukan kembali Kota Kupang dari tangan Jepang. Belanda berencana agar Timor Barat tidak ikut diambil oleh Republik Indonesia yang baru berdiri.
Max Rihi dan kawan-kawan memutuskan kembali ke Kupang untuk merebutnya dari tangan sekutu. Tetapi rupanya para pejuang di Kupang dan raja-raja di Timor mendukung pasukan Belanda dan Australia demi pembebasan dari pendudukan Jepang yang kejam.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!