Pendekatan kebangsaan an sich inilah yang sejak dahulu, dan cenderungdipertahankan hingga kini dalam meredam keresahan dan aspirasi orang-orang Papua. Padahal sudah terbukti, sejak Timor Leste, Aceh, dan Papua, pendekatan represi militer bukan saja tidak mampu menyelesaikan problem, malah memperluas dan memperdalam sentimen separatis.
Prinsip kemanusiaan atau internasionalisme berarti memandang orang-orang Papua sebagai sesama saudara, sesama umat manusia. Tentu saja itu berarti setara derajatnya, setara hak-haknya, setara martabatnya dengan etnis dan penduduk pulau atau provinsi manapun di Indonesia.
Memandang Papua dengan kacamata kemanusaian berarti bukan wilayah geografis Papua yang harus dirangkul; bukan kekayaan tambangnya, bukan hutan-hutan yang bisa dipersembahkan bagi investor sawit yang harus dicintai, melainkan manusia-manusianya, orang-orang Papua.
Perlakuan represif, diskriminatif dan rasis---kenyataan gamblang yang dibantah sejumlah petinggi seperti Kapolri dan Menkopolhukam Wiranto---dalam kejadian di Malang dan Surabaya beberapa hari terakhir, pun aksi-aksi represi di Papua dan wilayah lain selama ini adalah cermin absennya prinsip kemanusiaan.
# Sosio-demokrasi dalam penyelesaian problem Papua.
Sosio-demokasi adalah perasan dari prinsip demokrasi politik dan keadilan sosial.
Demokrasi politik a la Indonesia sejatinya bukan demokrasi voting, demokrasi menang-menangan. Demokrasi politik asli Indonesia adalah demokrasi musyawarah, demokrasi lonto-leok (Manggarai: duduk melingkar), demokrasi bertukar gagasan agar saling paham sehingga tercipta mufakat.
Sosio-demokrasi berarti demokrasi politik harus dibarengi demokrasi ekonomi, demokrasi yang mencegah penguasaan sumber daya agraria, sumber daya alam, dan aset produksi strategis berada di tangan segelintir elit ekonomi. Wujud dari adanya demokrasi ekonomi adalah keadilan sosial.
Sudahkah demokrasi musyawarah-mufakat diterapkan dalam menyelesaikan problem Papua? Benarkah setiap kelompok masyarakat di Papua terwakili dalam lembaga musyawarah? Apakah suku-suku di Papua yang merupakan satuan politik akar rumput de facto terwakili semua dalam lembaga musyarawah? Atau kita memaksakan kelembagaan yang asing, lembaga kongkow parpol-parpol, sistem yang belum lazim bagi orang Papua?
Ketika kepada mereka disodorkan Majelis Rakyat Papua, apakah benar MRP itu berisi representasi seluruh suku-suku? Apakah MRP itu sungguh-sungguh lembaga kekuasan atau ia cuma aksesoris dengan wewenang lebih terbatas dibanding Volksrat yang diberikan Belanda kepada kita dahulu? Siapa yang sesungguhnya meng-exercise kekuasaan legislatif di Papua, DPR Papua ataukah MRP?
Beranikah kita serius melaksanakan desentralisasi asimetris dengan merombak MRP dan DPR-P, menggabungkannya menjadi lembaga legislatif tunggal yang berisi baik perwakilan parpol, perwakilan suku-suku, kaum perempuan, pun kelompok agama?