Para mahasiswa mendapat pinjaman 21 juta dengan bunga 7 persen per tahun dari BRI Larantuka. Bupati Flores Timur jadi penjamin pinjaman itu. Mereka masuk ke Taiwan dengan resident visa yang berlaku 4 tahun. Di Taiwan, selain studi, mereka bekerja 4 hari  per minggu. Jadi mereka masuk kelas hanya 2 hari per pekan. Dari upah yang konon Rp 12 juta per bulan, mahasiswa membayar biaya hidup, biaya kuliah, dan mencicil pengembalian pinjaman BRI.
Lebih dari sekadar kecemasan orang NTT, kasus di Taiwan ini perlu jadi perhatian serius sebab bisa jadi ini modus baru industri Taiwan untuk mendapatkan tenaga kerja murah.
Kita tahu, persaingan di pasar global mengetat dalam 3 dekade terakhir. Agar survive, industri di tiap-tiap negara mencari cara menekan biaya produksi sehingga bisa menjual produknya lebih murah dibandingkan saingan dari negara lain. Cara lazim dan klasik untuk itu adalah dengan menekan tingkat upah atau mencari bentuk-bentuk baru relasi pengupahan.
Jika sekadar problem upah murah--di bawah ketentuan normatif atau harga normal pasar tenaga kerja--sudah lama diributkan di sejumlah negara. Di Australia problem ini menghangat sejak 2017.
September 2017 silam (diberitakan ABC.net.au) Ombudsman Australia mengumumkan di sejumlah media agar pelajar internasional berani melaporkan eksploitasi (beban kerja berlebih dan upah di bawah tingkat minimum) yang mereka alami di tempat kerja.
Dua bulan kemudian, Laurie Berg and Bassina Farbenblum menerbitkan hasil survei, "Wage Theft in Australia, a study of temporary migrants' work and conditions in Australia." Projek kerjasama Universitas Teknologi Sidney (UTS), UNSW Sidney, dan Migrant Worker Justice Initiative ini mensurvei 4.322 buruh migran temporer di Australia, berasal dari 107 negara. Ditemukan, sepertiga pelajar internasional dan backpackers yang bekerja hanya diupah separuh dari ketentuan normatif.
Tetapi yang terjadi di Taiwan sepertinya hal berbeda, terutama pada mekanisme perekrutannya. Berkaca dari pengalaman di NTT, para pelajar ini bukan dikirim dengan motivasi utama studi lanjut. Mereka direkrut untuk bekerja di sana sambil kuliah. Jadi jika yang lazim adalah kuliah sambil kerja, di Taiwan sebaliknya kerja sambil kuliah. Ini tampak dari waktu kerja yang 4 hari (40 jam per minggu) dan kuliah yang 2 hari.
Kita perlu  membuat persangkaan bahwa skema double track kerja-kuliah ini adalah cara tricky Industri di Taiwan untuk mendapatkan pekerja murah. Mari kita periksa data-data apakah dugaan saya benar atau tidak.
"Buruh pabrik susah dapat istri. Citranya sangat buruk," kata Tuan Su, direktur sebuah perusahaan manufaktur. Ia sedang keluhkan sulitnya mencari buruh pabrik domestik, orang Taiwan itu sendiri.
Taiwan sedang kesulitan buruh untuk pabriknya dan karena itu para pengusaha menuntut negara menaikkan kuota buruh asing dari 35 persen menjadi 40 persen. Demikian diberitakan BBC.com, Desember 2012 silam.
Pemerintah Taiwan kesulitan memenuhi permintaan ini sebab mendapat perlawanan keras serikat buruh. Menurut kalangan buruh Taiwan, problemnya bukan pada keterbatasan tenaga kerja domestik, melainkan pada tingkat upah yang ditawarkan industri.