Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Hal Kebenaran dan Prasangka dalam Hoaks dan Twit Andi Arief

8 Januari 2019   06:04 Diperbarui: 9 Januari 2019   12:00 1518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Polemik hoaks 7 kontainer surat suara tercoblos [diolah dari Tribunnews.com dan Liputan6.com]

Dalam pemilu lalu-lalu, lapor-melaporkan ke polisi atau otoritas berwenang lainnya berfungsi sebatas upaya menegakkan keadilan atau membatalkan kemenangan lawan. Kini lapor-melaporkan sudah jadi bagian dari taktik utama pemenengan pemilu. Ia mesin pembangun narasi; ia panggung mencuri perhatian konstituen.

Kejadian saling lapor terkini adalah terkait hoaks 7 kontainer surat suara tercoblos di Tanjung Priok. Tentu saja antara kubu Jokowi dan Prabowo, khusunya antara Andi Arief dan kawan-kawannya melawan orang-orang Jokowi.

Tetapi saya tak ingin membahas soal trend saling lapor sebagai taktik pemenangn pemilu. Saya lebih senang berbagi permenungan tentang bagaimana kita menilai sesuatu berdasarkan prasangka.

Bolehlah saya katakan prasangka sebagai apriori negatif. Terpaksa saya bilang begitu sebab KBBI telah menggariskan prasangka sebagai "pendapat (anggapan) yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui (menyaksikan, menyelidiki) sendiri." Sementara apriori dijelaskan sebagai "berpraanggapan sebelum mengetahui (melihat, menyelidiki, dan sebagainya) keadaan yang sebenarnya."

Kita memang menggunakan acuan KBBI saja. Sebab sudah dikatakan, saya sekadar berbagi permenungan, bukan hendak bercelotehan serius epistemologi yang tidak sungguh-sungguh saya pahami.

Sebenarnya definisi versi KBBI ini pincang. Ia menjadi wasit yang berat sebelah, memihak empirisme. Ia menganggap mengetahui itu sebagai melihat, menyaksikan, menyelidiki atau "mengerti sesudah melihat."

Maka bukan mengetahui namanya jika belum melihat, menyaksikan, menyelidiki; belum mengerti oleh karena melihat. Dengan begitu KBBI tidak mengakui apriori sebagai keluarga pengetahuan.

Padahal jika dipikir-pikir, prasangka itu bukan sesuatu yang tiba-tiba ada dalam kepala begitu saja. Ia merupakan perangkat yang diciptakan otak kita, menggunakan informasi-informasi yang diperoleh dari pengalaman inderawi sebelumnya (melihat, menyelidiki, termasuk di dalamnya membaca teori-teori).

Hari ini Om-Tante bangun pukul 5 pagi. Tanpa menyibak tirai jendela, Om-Tante tahu matahari sudah terbit. Itu karena beberapa kali sebelumnya Om-Tante melihat sendiri pada jam begitu matahari sudah terbit. Maka hari ini, esok hari dan seterusnya, Om-Tante tak perlu lagi melihat ke ufuk Timur untuk mengetahui matahari sudah terbit.

Jadi prasangka atau apriori itu juga sejenis pengetahuan, yang berarti pula mengandung kebenaran. Hanya saja kebenaran itu memang berlapis-lapis dan ia hanya mengandung sebagian.

Kebenaran dari prasangka atau apriori bisa saja jadi salah jika kelak tindakan melihat langsung atau menyelidiki menunjukkan kesimpulan sebaliknya. Sebelum ada upaya melihat langsung dan menyelidiki, ia masih menjadi kebenaran. Bahkan prasangka tetap sebagai kebenaran jika sesuatu tak dapat diselidiki dengan pengalaman inderawi.

Saya sangka prasangka ini berperan penting pula dalam polemik dan aksi saling lapor terkait kicauan twitter Andi Arief.

"Mohon dicek kabarnya ada 7 kontainer surat suara yg sudah dicoblos di Tanjung Priok. Supaya tidak fitnah harap dicek kebenarannya karena ini kabar sudah beredar," kicau Andi Arief.

Saya kira orang-orang, termasuk Hasto Sekjend PDIP, Ali Ngabali, Arya Sinulingga, dan nama-nama lain yang kini dilaporkan Andi Arief ke polisi paham bahwa ditilik hanya dari kalimat itu, Andi Arief tidak bisa disebut menyebarkan hoaks.

Adanya anak kalimat "mohon dicek kabarnya" dan "supaya tidak fitnah harap dicek kebenarannya" membuat kicauan Andi bermakna permintaan agar ada--khalayak, entah siapa--yang mengklarifikasi kabar 7 kontainer surat suara tercoblos, apakah benar atau cuma hoaks.

Tetapi karena para pendukung Jokowi melihat ini dengan apriori, mereka berkesimpulan Andi Arief menyebarkan hoaks. Sekali lagi, berprasangka tidak berarti salah.

Mereka memiliki landasan yang masuk akal, bersumber dari pengalaman yang sudah-sudah. Dalam pengalaman mereka, biasanya kubu Prabowo menyebarkan hoaks untuk menyerang Jokowi. Contohnya skandal Ratna Sarumpaet atau data bank dunia soal 99 persen orang Indonesia melarat. Karena Andi Arief merupakan bagian dari kubu Prabowo, mereka berkesimpulan (berprasangka) Andi Arief bermaksud menyebarkan hoaks.

Jadi penilaian bahwa twit Andi Arief soal 7 kontainer itu merupakan penyebaran hoaks bukan berdasarkan kalimat yang ada, melainkan berbasis penalaran yang bersumber dari pengalaman yang sudah-sudah.

Apalagi penyimpulan itu didukung konteks sebab hoaks 7 kontainer surat suara tercoblos di simbol pasangan nomor urut 01 jelas-jelas merugikan Joko widodo karena menimbulkan citra kubu Jokowi bermain curang dalam pilpres ini. Sebagai orang Partai Demokrat, Andi Arief memiliki motif untuk membangun narasi Jokowi anti-demokrasi.

Maka jangan heran jika polemik ini tidak menemukan titik temu. Andi Arief dan para konconya di kubu Prabowo membela diri berbasis format kalimatnya; orang-orang di kubu Jokowi menilai berdasarkan prasangka atas motifnya. Andi Arief dipandang tahu itu hoaks namun sengaja mendesain kalimatnya agar lolos dari jerat hukum.

Demikian pula sejumlah kalangan yang boleh dipandang "relatif" netral, seperti Mahfud MD dan Karim Suryadi yang dianggap pakar komunikasi politik. Keduanya menilai twit Andi Arief tidak berdasarkan format kalimat, melainkan konteks politik di mana Andi memiliki motif memanfaatkan kabar itu (menyebarkannya) untuk mendegradasi Jokowi atau berdasarkan perkiraan dampak yang timbul dari twit itu.

Karena itu bagi mereka Andi seharusnya tidak minta klarifikasi dari khalayak melalui media sosial, melainkan bertanya atau melaporkan kepada pihak berwajib.

Sayangnya, meski ada-tidaknya motif bisa diketahui dengan menyelidiki kenyataan-kenyataan, namun apakah motif itu yang sungguh menggerakkan tindakan, tidak benar-benar bisa dibuktikan.

Karena tidak bisa dibuktikan, penilaian bahwa Andi Arief menyebarkan hoaks akan tetap sebagai kebenaran antara atau kebenaran subjektif. Ia hanya benar bagi yang meyakininya.

Jika nanti Andi Arief diperiksa polisi, dan polisi hanya memeriksa apakah kalimat Andi Arief tergolong hoaks atau bukan, ia akan bebas. Lain cerita jika polisi berusaha menemukan bukti hubungan (mungkin komunikasi) antara Andi Arief dengan pembuat rekaman suara atau pihak-pihak yang sangat mula-mula menyebarkan kabar bohong itu. Jika ternyata ada hubungan, Andi Arief bisa saja kena jerat hukum.

Jangan mengira menilai berdasarkan prasangka dalam kasus ini dimonopoli kubu Jokowi. Kubu Prabowo pun demikian adanya.

Pimpinan Gerindra, Habiburokhman yang adalah rekan sekampung juga kawan seperjuangan Andi Arief dahulu,  menyatakan ia dan rombongan ACTA--organisasi advokad pendukung Prabowo--akan melaporkan komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Alasannya, Habiburokhman menilai Tanthowi berindak tidak netral sebagai penyelenggara pemilu melalui komentarnya terhadap cuitan Andi Arief.

"Memang pilihan katanya sudah didesain, sudah dipikirkan secara matang agar dia tidak dituduh menyebarkan hoax. Jadi itu memang sudah dia pikirkan secara matang pilihan kata-katanya. Ada katanya, ada minta tolong, itu bagian dari strategi saja." Demikian kata Pramono Ubaid Tanthowi yang dikutip media.

Jika ditinjau dari kalimatnya, pernyataan Tanthowi netral-netral saja, tidak tampak menyudutkan Andi Arief seperti penilaian ACTA.

Tanthowi tidak mengatakan "Andi Arief menyebarkan hoaks namun membungkusnya dengan kalimat yang secara teknis tidak bisa dianggap menyebarkan hoaks."

Tanthowi hanya menyatakan pilihan kata Andi Arief memang sudah didesain, sudah dipikirkan secara matang agar dia tidak dituduh menyebarkan hoaks.

Saya malah menilai Tanthowi memuji Andi Arief sebab selama ini saya sangka umumnya politisi anti-Jokowi mengetik kiacuan twitter sambil cebok atau melakukan urusan serius lain sehingga tak terkesan ada proses memikirkan matang-matang.

Saya sendiri, dan saya duga sewajarnya siapapun yang hendak bersuara di media sosial soal kabar yang belum tentu benar patut memikirkan matang kalimatnya, mendesain agar tidak dianggap turut menyebarkan hoaks.

Saya duga ACTA menuduh Tanthowi tidak netral sejatinya berdasarkan prasangka pula, bukan pada material kalimat yang ada. Mungkin karena dalam pemilu yang sudah-sudah atau bisa jadi berbasis teori watak kekuasan, ACTA menilai pihak yang berkuasa memanfaatkan KPU untuk mencurangi pemilu. Karena kini Jokowi menjadi pihak yang berkuasa, ACTA berprasangka (menyimpulkan) KPU tentunya mendukung Joko Widodo.

Demikianlah, polemik politik dalam masa kampanye pilpres 2019 ini sebagian besar adalah perang prasangka. Masing-masing pihak dengan kebenaran subjektif yang diyakininya, dan berupaya meyakinkan rakyat untuk turut menerimanya. Ada pula yang meski tahu prasangkanya terbukti salah, sengaja menyebarkannya hanya demi meraih kekuasaan.

Yang bikin jengkel, dalam upaya meyakinkan rakyat, mereka tidak berusaha menyajikan bukti dan argumen sebagai penguat. Mereka hanya meneriakkan sekencang-kecangnya dan sesering-seringnya pernyataan yang diulangi terus-menerus. 

Sumber:

  1. Detik.com (07/01/2019) "ACTA akan Laporkan Komisioner KPU yang Sebut Tweet Andi Arief 'Didesain'"
  2. Kumparan.com (03/01/2019) "Relawan Jokowi Laporkan Andi Arief soal Hoaks Surat Suara Dicoblos"
  3. Tribunnews.com (06/01/2019) "Andi Arief Akan Laporkan Sekjen PDI-P hingga Ali Ngabalin ke Bareskrim, Siap Geruduk Rumah Mereka." 
  4. Tribunnews.com (04/01/2019) "Tanggapi Twit Andi Arief soal Surat Suara Tercoblos, Mahfud MD: Termasuk Penyebaran Berita Bohong" 
  5. Tribunnews.com (04/01/2018) "Bukan soal Surat Suara Tercoblos, Ini yang Disayangkan Pakar Komunikasi Politik di Twit Andi Arief" 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun