Saya sendiri, dan saya duga sewajarnya siapapun yang hendak bersuara di media sosial soal kabar yang belum tentu benar patut memikirkan matang kalimatnya, mendesain agar tidak dianggap turut menyebarkan hoaks.
Saya duga ACTA menuduh Tanthowi tidak netral sejatinya berdasarkan prasangka pula, bukan pada material kalimat yang ada. Mungkin karena dalam pemilu yang sudah-sudah atau bisa jadi berbasis teori watak kekuasan, ACTA menilai pihak yang berkuasa memanfaatkan KPU untuk mencurangi pemilu. Karena kini Jokowi menjadi pihak yang berkuasa, ACTA berprasangka (menyimpulkan) KPU tentunya mendukung Joko Widodo.
Demikianlah, polemik politik dalam masa kampanye pilpres 2019 ini sebagian besar adalah perang prasangka. Masing-masing pihak dengan kebenaran subjektif yang diyakininya, dan berupaya meyakinkan rakyat untuk turut menerimanya. Ada pula yang meski tahu prasangkanya terbukti salah, sengaja menyebarkannya hanya demi meraih kekuasaan.
Yang bikin jengkel, dalam upaya meyakinkan rakyat, mereka tidak berusaha menyajikan bukti dan argumen sebagai penguat. Mereka hanya meneriakkan sekencang-kecangnya dan sesering-seringnya pernyataan yang diulangi terus-menerus.Â
Sumber:
- Detik.com (07/01/2019) "ACTA akan Laporkan Komisioner KPU yang Sebut Tweet Andi Arief 'Didesain'"
- Kumparan.com (03/01/2019) "Relawan Jokowi Laporkan Andi Arief soal Hoaks Surat Suara Dicoblos"
- Tribunnews.com (06/01/2019) "Andi Arief Akan Laporkan Sekjen PDI-P hingga Ali Ngabalin ke Bareskrim, Siap Geruduk Rumah Mereka."Â
- Tribunnews.com (04/01/2019) "Tanggapi Twit Andi Arief soal Surat Suara Tercoblos, Mahfud MD: Termasuk Penyebaran Berita Bohong"Â
- Tribunnews.com (04/01/2018) "Bukan soal Surat Suara Tercoblos, Ini yang Disayangkan Pakar Komunikasi Politik di Twit Andi Arief"Â