Tak tahu letak Haiti itu sepele. Namun menyamakan Indonesia dengan Haiti adalah masalah besar. Padanya berbaring ketidakpahaman akan konsep ekonomi dan indikator kesejahteraan, juga keserampangan menggunakannya akibat bias motif politik.
Prabowo lagi-lagi salah bicara. Tampil dalam acara Pengajian Ahad Pagi di Kantor pusat Majelis Tafsir Al-Qur'an (MTA) di Solo, 23 Desember lalu, seperti biasa, Prabowo mengkritik ketimpangan ekonomi di Indonesia. Mungkin agar menarik perhatian, ia membandingkan kondisi Indonesia dengan sejumlah negara kecil.
Dari sisi teknik retorika, Prabowo memang harus membuat perbandingan agar angka-angka dapat diimajinasikan. Sayangnya ia keliru soal letak Haiti, negara yang ia sangka terletak di Afrika.
Sontak kekeliruan Prabowo jadi bulan-bulanan, terutama di media sosial. Tidak ketinggalan sejumlah politisi Pro-Jokowi ambil untung, menjadikan kekeliruan Prabowo bahan ledekkan dan serangan balik.
Sekjend Nasdem Johnny G Plate menyatakan keprihatinan atas kesalahan Prabowo yang ia sebut tumpukan keliru, dari kekeliruan yang satu ke kekeliruan yang lain. Johnny sarankan Prabowo sudahi gaya retorika populisme peyoratif dan mulai berkampanye substansial melalui sosialisasi program dan rekam jejak.
Sekjend PPP Arsul Sani menyindir Prabowo lupa pelajaran geografi dan menilai perbandingan Indonesia dan Haiti tidak apple to apple serta salah data.
Mantan Sekjend PKB Abdul Kadir Karding menyatakan Prabowo lagi-lagi berbohong dan menakut-nakuti rakyat, membuat rakyat pesimis. Karding mengingatkan tim sukses Prabowo untuk melengkapi Prabowo dengan materi kampanye yang kuat dan berdata valid agar tidak terus-menerus melakukan kekeliruan.
Terhadap salah data yang berulang kali dilakukan Prabowo, Gerindra sepertinya sudah punya pakem pembelaan, yaitu mengajak orang melihat substansinya, bukan pada kesalahan yang menurut Gerindra sepele saja. Demikian pula dalam soal Haiti ada di Afrika ini juru bicara Gerindra, Andre Rosiade membela Prabowo.
Di satu sisi Andre benar. Prabowo bermaksud menggambarkan kondisi ketimpangan kaya-miskin di Indonesia. Hal ini adalah kenyataan sejak zaman Orde Baru hingga kini, belum terpecahkan secara memuaskan. Sudah jadi tugas Prabowo sebagai politisi untuk memikirkan masalah ini. Hal ini tentu baik adanya.
Namun harus pula diakui, pesan-pesan yang disampaikan Prabowo sering tidak tepat sasaran, termasuk dalam membandingkan Indonesia dengan Haiti. Persoalannya bukan karena salah membahasakan, namun pertama karena kepentingan Prabowo menyampaikan kritiknya yang sudah bias urusan pilpres 2019.
Jadinya Prabowo harus menujukkan  seolah-olah persoalan ketimpangan ini hanya menjadi kepedulian Prabowo Subianto, sama sekali tak terpikirkan Jokowi. Padahal pemerintahan Joko Widodo boleh dikatakan merupakan pemerintahan yang paling sungguh-sungguh menekan tingkat kesenjangan kaya-miskin ini.
Program pembangunan infrastruktur yang menjangkau daerah-daerah yang tidak diperhatikan pemerintahan sebelumnya salah satunya bertujuan menekan ketimpangan ekonomi, antar kawasan dan antar strata pendapatan.
Banyak orang miskin karena tinggal di daerah tanpa dukungan sarana-prasarana yang memadai bagi pertumbuhan usaha, baik pertanian, industri, pun jasa. Petani di desa-desa yang tidak dilalui kendaraan, meski besar potensi pertanian di desanya, tidak bisa menjual hasil pertanian dengan harga layak.Â
Para pemuda di di kota-kota yang infrastrukturnya masih tertinggal  tidak bisa bekerja sebagai buruh karena tidak banyak investor hendak membangun pabrik atau berinvestasi lain di sana.
Seringkali kondisi minus ekonomi yang disampaikan Prabowo adalah kondisi 10-20 tahun lampau namun dibuat seolah-olah baru terjadi di masa Jokowi. Prabowo tampak menutup mata atau mengabaikan banyak capaian positif semasa pemerintahan Jokowi.
Berulang kali pula, angka-angka dan perbandingan yang Prabowo gunakan tidak berbasis sumber yang valid, juga mengada-ada. Contohnya ketika Prabowo katakan 99 persen orang Indonesia hidup sangat susah, yang ia klaim diambil dari data Bank Dunia. Padahal Bank Dunia tidak pernah mengeluarkan data seperti itu. Yang ada adalah sekitar 9 persen penduduk Indonesia tergolong penduduk miskin.
Demikian pula soal 1 persen penduduk Indonesia menguasai 49 persen kekayaan, yang tampaknya Prabowo salahpahami dari publikasi Credit Suisse.Â
Berdasarkan penjelasan Andre Rosiade, Prabowo menyangka sama saja data kekayaan dengan pendapatan. Karena salah memahami konsep, Prabowo lantas berpikir perhitungan yang jujur adalah jika data GDP per kapita orang Indonesia dipotong separuhnya sebab yang 49 persen dikuasai orang kaya. Setelah dipotong separuh, angka GDP penduduk Indonesia akan sama dengan Haiti.
Padahal kalau Prabowo mengerti konsep, untuk mengetahui tingkat ketimpangan ada dua indikator versi Bank Dunia. Yang pertama adalah income share yang digolongkan berdasarkan 10 persen dan 20 persen penduduk, mulai dari yang 10 persen terkaya hingga 10 persen termiskin. Yang kedua adalah gini index.
Untuk ukuran distribusi pendapatan, income share Indonesia menurut bank dunia adalah 10 persen penduduk terkaya menyumbang 31,9 persen dari total pendapatan. Jadi bukan 1 persen menyumbang 49 persen.
Yang 1 persen menguasai 49 persen itu adalah ketimpangan kekayaan. Kekayaan adalah total aset hasil akumulasi bertahun-tahun, bukan perhitungan setahun. Karena dikumpulkan bertahun-tahun, kondisi ini menggambarkan kondisi kronis sejak zaman dahulu, bukan di kenyataan baru di era Jokowi.
Haiti dan Indonesia sama sekali tidak bisa disamakan. Angka penduduk miskin Haiti berdasarkan poverty gap 2 persen PPP adalah 42,16 persen sementara Indonesia hanya 9,58 persen.Â
Di Haiti, penduduk kota yang tinggal di daerah kumuh sebanyak 74,4 persen. Di Indonesia hanya 21,8 persen. Jadi kondisi ketimpangan dan kemiskinan dua negara ini berbeda jauh.
Dari sini kita bisa menduga, kesalahan Prabowo sebenarnya bukan sepele, melainkan berakar pula--faktor penyebab kedua Prabowo sering salah bicara--pada keserampangan menggunakan konsep-konsep ekonomi dan ukuran kesejahteraan.
Jika kondisi ini dibiarkan terus terjadi, Prabowo akan rugi. Ingat bahwa kelompok pemilih yang diperebutkan dalam sisa masa kampanye ini adalah kelompok pemilih rasional yang belum menentukan pilihan. Pemilih emosional sudah jelas pilihannya sebagaimana ditunjukkan dalam survei.
Kelompok pemilih rational melek data-data dan konsep ekonomi. Jika Prabowo terus-menerut menunjukkan kesalahan yang bersumber pada minimnya pemahaman akan konsep dan indikator ekonomi, ia tidak akan bisa meraih simpati kalangan pemilih rasional.
Sumber:
- Detik.com (23/12/2018) "Bicara di Kajian MTA Solo, Prabowo: Ekonomi RI di Jalan Keliru"
- Detik.com (27/12/2018) "NasDem soal Haiti: Prabowo, Sudahi Saja Gaya Retorika Bualan!"
- Detik.com (26/12/2018) "PPP Ledek Prabowo: 'Haiti-haiti' di Jalan Jangan Nyasar ke Afrika"
- Detik.com (27/12/2018) "Prabowo Salah soal Haiti, Tim Jokowi Usul Ada Materi Peta Dunia di Debat"
- Detik.com (26/12/2018) "Gerindra Jawab Ledekan PPP ke Prabowo 'Haiti-haiti Nyasar ke Afrika'"
- Tradingeconomics.com "Indonesia - Income share held by highest 10%"
- Tradingeconomics.com "Haiti - Poverty gap at $2 a day (PPP)"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H