Jadinya Prabowo harus menujukkan  seolah-olah persoalan ketimpangan ini hanya menjadi kepedulian Prabowo Subianto, sama sekali tak terpikirkan Jokowi. Padahal pemerintahan Joko Widodo boleh dikatakan merupakan pemerintahan yang paling sungguh-sungguh menekan tingkat kesenjangan kaya-miskin ini.
Program pembangunan infrastruktur yang menjangkau daerah-daerah yang tidak diperhatikan pemerintahan sebelumnya salah satunya bertujuan menekan ketimpangan ekonomi, antar kawasan dan antar strata pendapatan.
Banyak orang miskin karena tinggal di daerah tanpa dukungan sarana-prasarana yang memadai bagi pertumbuhan usaha, baik pertanian, industri, pun jasa. Petani di desa-desa yang tidak dilalui kendaraan, meski besar potensi pertanian di desanya, tidak bisa menjual hasil pertanian dengan harga layak.Â
Para pemuda di di kota-kota yang infrastrukturnya masih tertinggal  tidak bisa bekerja sebagai buruh karena tidak banyak investor hendak membangun pabrik atau berinvestasi lain di sana.
Seringkali kondisi minus ekonomi yang disampaikan Prabowo adalah kondisi 10-20 tahun lampau namun dibuat seolah-olah baru terjadi di masa Jokowi. Prabowo tampak menutup mata atau mengabaikan banyak capaian positif semasa pemerintahan Jokowi.
Berulang kali pula, angka-angka dan perbandingan yang Prabowo gunakan tidak berbasis sumber yang valid, juga mengada-ada. Contohnya ketika Prabowo katakan 99 persen orang Indonesia hidup sangat susah, yang ia klaim diambil dari data Bank Dunia. Padahal Bank Dunia tidak pernah mengeluarkan data seperti itu. Yang ada adalah sekitar 9 persen penduduk Indonesia tergolong penduduk miskin.
Demikian pula soal 1 persen penduduk Indonesia menguasai 49 persen kekayaan, yang tampaknya Prabowo salahpahami dari publikasi Credit Suisse.Â
Berdasarkan penjelasan Andre Rosiade, Prabowo menyangka sama saja data kekayaan dengan pendapatan. Karena salah memahami konsep, Prabowo lantas berpikir perhitungan yang jujur adalah jika data GDP per kapita orang Indonesia dipotong separuhnya sebab yang 49 persen dikuasai orang kaya. Setelah dipotong separuh, angka GDP penduduk Indonesia akan sama dengan Haiti.
Padahal kalau Prabowo mengerti konsep, untuk mengetahui tingkat ketimpangan ada dua indikator versi Bank Dunia. Yang pertama adalah income share yang digolongkan berdasarkan 10 persen dan 20 persen penduduk, mulai dari yang 10 persen terkaya hingga 10 persen termiskin. Yang kedua adalah gini index.
Untuk ukuran distribusi pendapatan, income share Indonesia menurut bank dunia adalah 10 persen penduduk terkaya menyumbang 31,9 persen dari total pendapatan. Jadi bukan 1 persen menyumbang 49 persen.
Yang 1 persen menguasai 49 persen itu adalah ketimpangan kekayaan. Kekayaan adalah total aset hasil akumulasi bertahun-tahun, bukan perhitungan setahun. Karena dikumpulkan bertahun-tahun, kondisi ini menggambarkan kondisi kronis sejak zaman dahulu, bukan di kenyataan baru di era Jokowi.