Meski sejak mula respek pada Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebenarnya saya menyimpan prasangka menyepelekan mereka, underestimate. Saya sangka mereka hanya sekumpulan generasi muda harum melek politik yang setinggi-tingginya kesadaran mentok pada isu anti-korupsi dan toleransi. Tidak saya sangka, para politisi enak dipandang mata ini menyimpan sejumlah gagasan maju, terutama dalam problem keperempuanan.
Berpidato di acara Festival 11 di Surabaya, Selasa (11/12/2018) malam, Ketum PSI Grace Natalie menjabarkan sejumlah program perjuangan parpolnya di bidang keperempuanan. Selain soal revisi Undang-Undang Perkawinan agar mempersempit peluang poligami; Grace bicara pula tentang kebutuhan khas perempuan kelas pekerja, yaitu alokasi anggaran negara untuk pendirian tempat-tempat penitipan anak; serta fleksibilitas jam kerja, dan relasi kerja yang memungkinkan perempuan bekerja dari rumah dengan memanfaatkan teknologi.
Orang mungkin berpikir ini adalah program perjuangan yang sederhana saja dan disusun sekadar sebagai kata-kata indah. Tidak! Apa yang disampaikan Grace sesungguhnya merupakan tuntutan perjuangan tertua dalam sejarah gerakan perempuan.
Pada 1919 di Rusia, sebelum Hari Perempuan Internasional menjadi tradisi, para tokoh pergerakan perempuan inisiator Hari Perempuan Internasional sudah berhasil mendesak program perjuangan serupa yang Grace angkat agar menjadi program partai kelas pekerja, terutama kaum Bolsyevik.
Program-program ini disebut sosialisasi kerja domestik, dimaksudkan sebagai langkah radikal membebaskan kaum perempuan dari belenggu beban pekerjaan rumah tangga yang secara tak adil mengungkung mereka dalam tanggungjawab sepihak.
Kapitalisme berkembang seiring kehidupan yang kian berat, terutama bagi keluarga kelas pekerja. Kebutuhan hidup tak bisa lagi dipenuhi hanya dengan suami bekerja. Perempuan mau tak mau turut mencari nafkah.
Sialnya, penyerapan perempuan ke dalam pasar tenaga kerja tidak disertai dengan perombakan nilai-nilai lama yang menempatkan perempuan sebagai penanggungjawab utama urusan-urusan domestik seperti mencuci, mengurus anak, membersihkan rumah, dan memasak. Jadinya perempuan memikul beban ganda: turut mencari nafkah dengan tingkat pekerjaan yang sama berat namun berupah rendah, plus harus pula menguras tenaga di rumah.
Partai kelas pekerja sejati memposisikan kerja sebagai sarana pembebasan diri. Perempuan bekerja tak boleh dipandang sebagai langkah terpaksa menyelamatkan kondisi ekonomi keluarga, melainkan sebagai hak setara perempuan dan laki-laki untuk aktualisasi diri. Kerja berfungsi mengoptimalkan potensi diri sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Seperti lekaki, perempuan pun mahkluk ciptakan Tuhan, setara, hanya terbedakan bentuk dan fungsi organ-organ kelaminnya.
Karena itu harus dipikirkan cara agar tanggungjawab domestik berpindah dari pundak subjektif perempuan dalam keluarga menjadi tanggungjawab kolektif masyarakat. Untuk itulah PBSDR-Bolsyevik memperjuangkan pendirian pusat binatu, balai penitipan anak, hingga dapur umum yang dikelola secara kolektif oleh anggota partai.
Pada 1923 Trotsky menambahkan pendasaran teoretik dan ideologis atas program ini melalui artikelnya "From the Old Family to the New" Â di Pravda edisi 13 Juli 1923. Ia menutup artikel itu dengan indah, mengutip Engels, bahwa dengan program sosialisasi atau kolektivitasi kerja domestik ini, keluarga umat manusia akan "jump from the realm of necessity to the realm of freedom."