Setelah jeda waktu lama pasca penetapan capres-cawapres namun nasib jabatan Wagub belum juga jelas, keresahan di kalangan pimpinan dan kader PKS kuncup kembali. Apalagi ketika M. Taufik menyatakan hendak maju pula sebagai Wagub pengganti Sandiaga Uno.
Sohibul Iman coba menenangkan diri dan para kader PKS dengan menafsirkan tertawa Prabowo sebagai keberpihakan kepada PKS. Hingga kemudian terbukti penafsiran itu salah saat Prabowo menyatakan wewenang menentukan Wagub pengganti Sandiaga di kubu Gerindra ada di tangan M. Taufik.
Sikap para pemimpin PKS yang masih saja mempertahankan loyalitas kepada aliansi dengan Prabowo meski bertubi-tubi dikhianati tampak sebagai perendahan marwah kepemimpinan partai yang mengklaim diri sebagai partai umat.
PKS menjadi sekadar seperti ikan remora menempeli hiu Gerindra ke manapun. Namun simbiosis komensialisme PKS-Gerinda berkebalikan, adalah PSK yang tampak tidak mendapat apa-apa.
Kita bisa turut merasakan kepedihan hati para kader mula-mula PKS yang turut membangun partai ini, menyaksikan transformasinya dari gerakan tarbiyah menjadi alat politik legal formal, ternyata hanya untuk berakhir sebagai pelengkap stempel syarat pencaloan presiden.
Kedua, tenggelamnya politik dakwah, tergadai pragmatisme
Dalam pandangan saya, keresahan para kader akar rumput PKS ini bukan semata-mata terkait Sohibul, cs gagal memperjuangkan orang PKS sebagai cawapres, pun ketidakpastian jabatan Wagub DKI.
Persoalan utama terletak pada kegagalan kepemimpinan Sohibul Iman memajukan politik PKS dalam kancah pilpres.
Alih-alih menjalankan tugas sebagai partai dakwah, kepemimpinan Sohibul Iman justru terperosok kian jauh ke dalam pragmatisme. PKS tersedot dalam kecenderungan sentripetal konstelasi parpol. Ia menjadi hampir tak terbedakan dengan PAN, Gerindra, bahkan kian sulit dicari celah pemisahnya dengan ormas selevel FPI.
PKS menjadi tampak hanya sebagai pengembira. Bersorak-sorai di tepi lapangan bagi kemenangan Gerindra. Tak ada warna PKS dalam silang sengketa pernyataan-pernyataan politik yang saling ditembakan para kubu, tak terdengar lagi narasi khas PKS yang dulu sempat merebut ceruk hegemonik.
Pernyataan-pernyataan vulgar sentimen agama dalam politik itu bukan khas PKS. Itu malah lebih terdengar sebagai milik FPI.