Blok  Rokan, salah satu blok minyak terbesar di Indonesia--yang dulu bisa memproduksi hingga 1 juta bpd itu--akhirnya jatuh ke tangan Pertamina pada 2021 nanti. Pemerintah tidak mau memperpanjang kontrak Chevron, salah satu perusahaan migas terbesar dunia asal Amerika Serikat.
Ini tentu kabar menggembirakan. Meski blok bekas dan tua, Rokan masih menyimpan 1,2 miliar barel (Tempo.co, 12/08/2018).
Dengan keputusan tidak memperpanjang penguasaan Chevron dan menyerahkannya ke Pertamina, kini Pertamina menguasai lebih dari 60 persen blok migas nasional.
Pemerintahan Jokowi pantaslah membanggakan hal ini sebagai prestasi sebab terjadi di masa pemerintahannya, melengkapi capaian bersejarah--meski masih berupa head of agreement--divestasi Freeport McMoran.
Rupanya tidak disuruh dua kali pun, Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan sudah bergerak, menggadang-gadang kasus blok Rokan sebagai prestasi Jokowi. Inilah yang Pak Luhut Panjaitan lakukan di depan kids zaman now dalam acara talkshow Youth X Public Figure Sabtu kemarin (Tempo.co, 12/08/2018).
Kata Pak Luhut, keputusan pemerintah tidak memperbaharui kontrak Chevron di Rokan namun menyerahkan kepada Pertamina membantah keraguan banyak orang bahwa Indonesia tidak mampu mengambil kembali pengelolaan blok migas terbesar itu.
Terbukti, di masa pemerintahan Jokowi, Freeport Indonesia bersedia teken HoA divestasi hingga 51 persen, Blok Rokan bisa diserahkan ke Pertamina pada 2021 nanti.
Apa yang dilakukan Pak Luhut tidak salah. Capaian itu perlu dijadikan komoditas politik bagi keuntungan Jokowi dalam pilpres 2019 nanti, sama seperti kegagalan pemerintah diolah lawan jadi komoditas bagi keuntungan elektoral mereka.
Dengan kasus Freeport dan Blok Rokan, pemerintah minimal punya tameng untuk menangkis serangan kubu oposisi soal karakter neoliberal atau antek-asing pemerintahan Joko Widodo.
Tetapi upaya Pak Luhut jadi kurang maksimal gara-gara pernyataan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar.
Mungkin karena mau pamer atau takut negara luar mencap dirinya sudah kehilangan iman neoliberal yang membuatnya kena black-list dalam pergaulan para kapitalis internasional, atau karena takut para kapitalis panik dan enggan investasi di Indonesia, Pak Arcandra Tahar menggarisbawahi, bahwa keputusan penyerahan Blok Rokan ke Pertamina setelah Chevron selesai normal masa kontraknya didasarkan kepada pertimbangan bisnis murni, bukan karena nasionalisasi.
Kata Pak Arcandra, Pertamina memenangkan kontrak sebagai operator minyak Rokan menggantikan Chevron karena penawaran pertamina menjanjikan pendapatan jauh lebih besar bagi negara, termasuk bonus tanda tangan kontraknya, mengalahkan Chevron sebagai petahana.
Jadi  Wamen Arcandra seolah-olah mau menekankan sama sekali tak ada diskresi pemerintah untuk memenangkan Pertamina.
Sebenarnya sebelum Pak Arcandra bicara begitu, Pak Luhut dan bos Pak Arcandra Pak Ignas Jonan tidak menutup-nutupi soal ini.
Mereka jujur mengakui kemenangan Pertamina sebagai operator pengganti Chevron di Rokan itu karena proposal penawarannya jauh lebih menguntungkan.
Tetapi Pak Luhut dan Pak Jonan tidak memberi penekanan di soal itu. Sebaliknya, Pak Arcandra sepertinya memang sengaja memberi underline sehingga pers memberitakan dalam judul yang tak untung-politis: "Pertamina Dapat Blok Rokan, Arcandra: Bukan Karena Nasionalisasi" (Detik.com, 10/11/2018).
Pernyataan Pak Arcandra itu seharusnya keluar dari mulut politisi oposisi, bukan dari mulut Wamen Kabinet Joko Widodo.
Tanpa Pak Arcandra bilang begitu pun, kubu oposisi akan mengulik soal ini, membantah klaim pemerintahan Jokowi atas kesuksesan Rokan ini. Soal Freeport yang pemerintah susah payah bertahun-tahun negosisasi saja dianggap angin lalu, apalagi soal Rokan ini.
"Sudah pengambilalihannya setelah kontrak selesai, pertimbangan bisnis murni pula. Apa sumbangan Jokowi dalam soal ini?" Itu yang akan dikatakan kubu oposisi, dan Pak Amin Rais tidak salah jika kemudian ia bilang jangan bohong ke rakyat bahwa itu prestasi.
Kubu Oposisi tidak salah. Dengan pengakuan Pak Arcandra, bahkan rakyat biasa akan mengerti, "Artinya kalau kemarin proposal bisnis Pertamina kalah menguntungkan dibandingkan Chevron, Blok Rokan akan tetap dikelola asing donk."
Jangan bangga dengan iman ekonomi neoliberal. Serangan oposisi terhadap pemerintahan Joko Widodo justru kian gencar gara-gara banyak figur beriman neoliberal dalam pemerintahan.
Nah, untuk memperbaiki blunder pernyataan ini, saya sarankan tiga hal yang perlu disampaikan tim kampanye Joko Widodo.
Pertama, baiklah itu bisnis murni. Tetapi itu membuktikan pemerintahan Joko Widodo bersih, tidak ada deal di bawah meja. Siapa memberi penawaran terbaik, dialah yang dapat kontrak.
Kedua, kan pemilik modal Pertamina itu 100 persen pemerintah. Jadi bisa saja Menteri ESDM minta kepada Menteri BUMN supaya Pertamina menaikkan penawarannya agar bisa kalahkan Chevron (CNBCIndonesia.com, 20/07/2018).
Itu sebabnya Pertamina diberikan kesempatan memperbaiki proposalnya (Katadata.co.id, 25/07/2018).
Jadi mungkin saja pemerintah sebagai panitia tender membocorkan penawaran lawan ke Pertamina. Itu diskresi namanya. Artinya pemerintah memang berbuat sesuatu untuk kemenangan Pertamina.
Ketiga, apa yang disampaikan Wamen Arcandra itu sebenarnya baik, yaitu supaya pihak swasta asing tetap merasa nyaman berinvestasi di Indonesia.
Kalau Wamen Arcandra mengakui ada diskresi, swasta asing akan merasa investasi migas di Indonesia tidak sehat dan enggan masuk, atau malah yang ada hengkang. Padahal kita butuh banyak investasi agar tersedia lapangan kerja dan blok migas lepas pantai bisa diekspoitasi.
Investasi asing masih dibutuhkan sebab kubu yang mengklaim lawan kebocoran dan anti-investasi asing malah menyimpan uangnya di kawasan surga pajak Bahama Island seperti yang terungkap dalam dokumen Paradise Papers.
Keempat, Pertamina bisa menang lawan Chevron menunjukkan kesehatan bisnis dan kekuatan Pertamina yang jauh lebih baik di bawah masa pemerintahan Joko Widodo.
Menteri BUMN patut mendapat kredit atas ini, juga Presiden Joko Widodo yang sudah tepat  memilih menteri dan memimpin kerja-kerja mereka.
Begitu kira-kira. Salaman.
Sumber:
- Detik.com (10/08/2018) "Pertamina Dapat Blok Rokan, Arcandra: Bukan Karena Nasionalisasi."
- Tempo.co (12/08/2018) "Luhut Pandjaitan Cerita Soal Blok Rokan dan Freeport ke Anak Muda."
- Detik.com (11/08/2018) "Luhut Pamer Freeport dan Blok Rokan di Depan Milenial"
- Katadata.co.id (25/07/2018) "Proposal Lengkap, Pertamina Siap Rebut Blok Rokan dari Chevron."
- CNBCIndonesia.com (20/07/2018) "Pemerintah Kembalikan Proposal Pertamina Soal Blok Rokan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H