Pada 6 Juli 2018 lalu, Kompas.com menerbitkan warta berjudul  "Tuding Asing Mendompleng PGN, Pekerja Pertamina Ancam Stop Produksi." Hari ini (16/07/2018), Kompas.com kembali menerbitkan berita, "Pekerja Masih Tidak Rela Pertagas Diakuisisi PGN, Ini Alasannya."
Inti pemberitaan pertama adalah buruh yang tergabung di dalam Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) menolak akuisi 51 persen saham Pertagas oleh Perusahaan Gas Negara (PGN) sebab menuding kepemilikan saham PGN berada di tangan asing dan kebijakan penjualan saham Pertagas itu merupakan kepentingan dan penyalahgunaan Pelaksana tugas (plt) Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati.
Para buruh menilai demikian karena baru beberapa hari Nicke menjabat direktur, 51 persen PT Pertagas dilego ke PGN.
Sementara pada pemberitaan kedua, protes berkembang menjadi mengapa akuisisi hanya 51 persen.
Bukan main-main ancaman para buruh. Mereka akan melaporkan Nicke ke KPK dan menggelar mogok kerja.
Bagi saya, peristiwa protes buruh pertamina ini adalah keanehan luar biasa. Bagaimana bisa para buruh sampai tidak tahu sama sekali proses panjang pembentukan Holding Migas yang memang salah satu dampaknya adalah akuisisi Pertagas oleh PGN?
Apakah sedemikian parah kondisi keterbatasan pengetahuan buruh terhadap perkembangan perusahaan? Atau apakah ada upaya provokasi menggoreng isu ini untuk kepentingan politik, baik politik pemerintahan (menjadikan amunisi Pilpres 2019) atau politik perusahaan yaitu mengeser posisi Nicke dari calon Direktur Utama definitif Pertamina?
BUMN Holding
Pengambilalihan Pertagas oleh PGN seharusnya sudah lama jadi pengetahuan umum di kalangan buruh Pertamina. Pembentukan BUMN Migas merupakan target dan kebijakan utama Kementerian BUMN selama masa pemerintahan Jokowi, demikian pula wacana merger Pertamina dan PGN sudah berlangsung bertahun-tahun.
Pembentukan BUMN Holding sebenarnya merupakan rencana lama, setidaknya sejak Menteri BUMN Tanre Abeng di era pemerintahan Soeharto mewacanakannya.