Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Divestasi Freeport, Amien atau Ngabalin yang Bohong?

16 Juli 2018   03:08 Diperbarui: 16 Juli 2018   12:52 1863
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Amies Rais dan Ali Mochtar Ngabalin [diolah dari goetimes.co.id dan tempo.co]

Jika Indonesia mampu mengelola sendiri, persoalan akan jadi mudah. Tinggal cukupkan saja Kontrak Karya Freeport pada 2021, tidak perlu diperpanjang terus. Dengan jalan itu, skenarionya akan jadi seperti keinginan Fuad Bawazir.

Persoalannya, sebagaimana diklain Menteri Ignas Jonan, Indonesia belum memiliki kemampuan  teknis, engineering, dan pengelolaan tambang yang sekompleks di Mimika. PT Aneka Tambang, salah satu perusahaan tambang terbesar Indonesia pun tidak memiliki kemampuan teknis untuk mengelola Freeport.

Karena itu, Freeport masih dibutuhkan sebagai mitra kerja selama masa yang dibutuhkan hingga transfer teknologi dan pengetahuan telah membekali Indonesia dengan kapasitas yang cukup. Berdasarkan negosiasi, waktu yang dibutuhkan untuk itu adalah hingga 2041.

Kondisi klaim ketidakmampuan Indonesia dalam mengelola sendiri Freeport juga menjadi jawaban atas pertanyaan Juwana dan Drajat Wibowo.

Sementara soal kepastian HoA yang diangkat Hikmahanto Juwana dan Drajat Wibowo terjawab oleh pernyataan Rini Sumarno bahwa perpanjangan Izin Usaha Pertambangan (IUPK) dilakukan setelah proses divestasi selasai. Jadi tanpa divestasi sesuai HoA, tidak ada pemberian IUPK pada 2021 atau lazim disebut perpanjangan kontrak (Detik.com, 14/07/2018).

Kritik Fahri Hamzah soal status IUPK sebagai penganti Kontrak Karya dan pembangunan Smelter juga sudah terjawab sejak wawancara Agustus itu.

Sementara kritik Andi Arief soal sebaiknya nasionalisasi--yang tampaknya ia maksudkan sebagai pengambilalihan tanpa ganti rugi--sepertinya terkesan asal bunyi.

Nasionalisasi paling progresif terkini adalah yang dilakukan Presiden Hugo Chavez di Venezuela terhadap Exxon dan Conoco dahulu. 

Chavez mengusir kedua perusahaan itu (mengambilalih tanpa ganti rugi) setelah keduanya menolak divestasi 60 persen sahan kepada perusahaan migas nasional pada harga buku (kedua kapitalis minyak asing itu menginginkan divestasi pada harga pasar). Chavez dapat dengan mudah mengusir tanpa ganti rugi sebab perusahan migas nasional Venezuela, PDVSA memiliki kemampuan teknis mengambilalih operasional tambang ConocoPhilips dan ExxonMobil. Ingat bahwa sebelum pengusiran (yang tampaknya Andi Arief maksudkan sebagai nasionalisasi itu), pemerintah Venezuela menawarkan opsi divestasi sebagaimana tawaran Pemerintah Indonesia kepada Freeport.

Gatal Ketombean, Yang Digaruk Bokong

Bagi saya, problemnya polemik divestasi Freeport ini ibarat gatal karena ketombean tetapi bokong yang digaruk. Ujungnya adalah saling tuduh berbohong dan pencitraan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun