Pernah, seorang pemuda alay melongo kebingungan saat saya katakan lebih dari dua dekade lampau, aksi-aksi terorisme masih merupakan kejahatan ekslusif negara.Â
Sejumlah kamus Bahasa Inggris memang mendefinisikan terorisme sebagai "penggunaan kekerasan dan intimidasi terhadap warga sipil demi tujuan politik "(oxforddictionaries.com).
Pakar terorisme, Jonathan Matuzits menjelaskan bahwa terorisme dapat dilakukan oleh negara, aktor non-state, atau para agen rahasia yang bertindak atas nama negara.
Pemboman kapal Rainbow Warrior milik Green Peace oleh agen rahasia Perancis pada 10 Juli 1985 adalah salah satu contoh terorisme yang dilakukan negara.
Di Indonesia, terutama sepanjang masa Orde Baru ada sangat banyak contohnya. Namun mengingat hari ini, 10 Juli adalah hari aksi terorisme Pemerintah Perancis terhadap para aktivis lingkungan hidup dengan pemboman kapal Rainbow Warrior, akan lebih baik kita gunakan saja contoh ini.
Pada 1985, Pemerintah Perancis melakukan uji coba nuklir di Pasifik Selatan. Organisasi lingkungan hidup mengirimkan kapal mereka, Rainbow Warrior untuk memprotes hal itu.
Ketika  Rainbow Warrior berlabuh di Auckland sebelum melanjutkan pelayaran ke Atol Mururoa, Selandia Baru, agen rahasia Perancis (DSGE) yang menyamar sebagai turis Swis meledakan bom dan menenggelamkan Rainbow Warrior.  Fernando Pereira, seorang fotografer berkewarnegaraan Belanda tewas.
Awalnya Pemerintah Perancis membantah ledakan itu sebagai ulahnya meski 2 agen rahasia DSGE telah ditahan Pemerintah New Zealand.
Atas desakan New Zealand dan dunia internasional, Perancis mau menyelidiki kejadian tersebut tetapi mengeluarkan penjelasan palsu bahwa agen rahasianya hanya memata-matai Greeen Peace.
Dua tahun kemudian, sebuah majalah Inggris menerbitkan laporan investigasi yang membuktikan peledakan itu dilakukan atas persetujuan Presiden Perancis Francois Mitterrand.
Pemerintah Perancis kemudian mengakui keterlibatannya. Perdana menteri Launrent Fabius dan sejumlah menteri di kabinetnya mengundurkan diri. Dua agen yang ditahan di New Zealand mengakui perbuatannya dan dihukum 10 tahun penjara.
Atas tekanan internasional, pada 1987 Â Pemerintah Perancis membayar 8,2 juta dollar AS kepada Green Peace dan menyantuni keluarga Fernando Pereira.
Setelah 30 tahun berlalu, pada September 2015, Jean-Luc Kister, agen Perancis yang jadi salah seorang pelaku menyampaikan permintaan maaf kepada Green Peace, keluarga Fernando Pereira, dan masyarakat New Zealand.
Di Indonesia, meski bertahun-tahun keluarga korban menuntut keadilan, para aktor negara yang mengotaki teror terhadap rakyat tidak pernah diadili dengan semestinya. Banyak yang justru menjadi pejabat penting atau hidup menikmati kekayaan di masa tuanya.
Sumber:
- Jonathan Matuzits (1976). Terrorism and Communication: a Critical Introduction. Sage Publication, Inc., 2013.
- History.com, "The sinking of the Rainbow Warrior"
- Theguardian.com (06/09/2015), "French spy who sank Greenpeace ship apologises for lethal bombing."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H