Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masyarakat Pemakan Madu di Kaki Benteng Gunung Batu Kauniki (Bag 1)

16 Juni 2018   17:12 Diperbarui: 15 Februari 2019   12:30 1561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu stand peserta festival pangan lokal Ohaem 15 Juli 2018 [kredit foto: Mega Liu]

Tidak jauh dari Batu Kauniki, benteng alam yang digunakan pahlawan perang Sonbai dalam pertempuran penghabisan melawan Belanda, bermukimlah masyarakat pemakan madu.

Tidak seperti kita yang harus berhemat agar sebotol 100 ml madu campuran dari supermarket tahan sebulan, orang-orang ini bisa menghabiskan 100 ml madu asli sekali makan. Om-Tante tak salah baca, saya memang menulis makan, bukan minum. Madu adalah komponen inti dalam pangan lokal orang-orang Desa Oh'aem I.

Jumat, 15 Juni, sekitar pukul 7, saya sudah dijemput mudik. Harfiah, saya memang mudik, menuju pedalaman. Desa Oh'aem I tujuan saya, sebuah desa di pedalaman yang 101 km jauhnya dari tempat tinggal saya.

Desa Oh'aem I tidak jauh dari Batu Kauniki, benteng alam yang jadi pertahanan terakhir Sobe Sonbai III dalam pertempuran penghabisan melawan Belanda. Di tempat inilah  Sobe Sonbai III, raja kelima belas dinasti Sonbai, penguasa Timor Barat, akhirnya ditangkap Belanda pada 1905. Suatu saat kelak saya akan bercerita tentang ini.

Sebenarnya saya sedang bad mood, kesal karena seharusnya sudah dijemput sehari sebelumnya. "Om, festivalnya ditunda tanggal 15 malam, jadi Om dijemput 15 pagi. Rombongan dari Jakarta juga baru pagi itu berangkat," pesan whatsapp dari Om Zadrak Mengge, biang keramaian urusan pangan lokal di tiga desa di Amfoang. Beberapa hari sebelumnya, Om Zadrak dari Perkumpulan Pikul mengundang saya menghadiri festival pangan lokal 3 desa di Kecamatan Amfoang yang bertempat di Desa Oh'aem I.

Seperti biasanya tranportasi ke pedalaman, jalan raya ke Oh'aem sangat buruk. Ada banyak hal yang ingin saya ceritakan tentang itu. Tetapi sebaiknya saya buatkan artikel tersendiri, menggabungkannya dengan cerita tentang perjalanan pulang yang sungguh menegangkan. Jadi saya ringkas saja bagian perjalanan di sesi ini hingga kita sudah berada di jalan masuk Desa Oh'aem I.

Baru beberapa meter masuk perkampungan Desa Oh'em I, saya sudah takjub. Di pekarangan salah satu rumah, bulir-bulir sorgum merah tersenyum menyambut. Sorgum di pekarangan? Itu pemandangan menyenangkan bagi para pendukung pangan lokal.

"Berhenti di sini. Kalian lanjutkan saja. Nanti saya jalan kaki ke tempat acara," pesan saya kepada rombongan. Mereka pilih menunggu.

Seorang lelaki keluar dari rumah, menggendong bayi yang sedang tertidur. Istrinya tentu sedang memasak bersama ibu-ibu lain untuk kepentingan festival nanti, pikir saya. Kami berkenalan---saya lupa di mana saya simpan catatan nama bapak ini---dan ngobrol sejenak.

"Sudah berapa lama Bapak tanam sorgum-sorgum ini?"

"Ini ditanam September lalu, Pak."

"Ya, sudah bisa jadi bibit yang ini. Maksud saya, mulai kapan Bapak biasa tanam sorgum?"

"Sudah dari zaman nenek moyang, Pak. Kami selalu tanam sorgum untuk makan. Yang ini sedikit. Di kebun lebih banyak lagi."

"Begitu ya," saya senang sekali mendengar ini, "seberapa sering keluarga makan sorgum?"

"Tidak tentu, Pak. Yang pasti seminggu ada. Kami selang-selingkan dengan nasi dan jagung. Sering juga dimasak bersama. Jika jumlahnya berlebihan, kami berikan ternak."

"Kalau di kebun, Bapak tanam kelilingi jagung dan padi?" Saya perlu pastikan seberapa strategis posisi sorgum dalam sistem pangan mereka. Di banyak desa, Sorgum hanya dijadikan tumbal, ditanam mengelilingi Jagung dan padi agar memancing burung-burung. Karena burung lebih senang sorgum, padi dan jagung selamat.

"Tidak, Pak. Kami tumpang sari dengan jagung dan padi."

Hmmm, itu berarti bapak ini memperlakukan sorgum dengan adil, sungguh menjadikannya pangan dan ketika berlebihan dijadikan pakan ternak.

"Kamera kalian berfungsi?" tanya saya rombongan setelah foto yang saya hasilkan dari kamera telepon genggam tampak---selalu begitu---kurang manis dan jelas. Mega Liu, relawan Perkumpulan Pikul mengerti maksud saya. Ia turun dari mobil, membawa kamera dan mulai jepret-jepret.

"Jangan foto saya. Sorgum-sorgum itu!" seru saya membetulkan maksud.

Kadang-kadang saya berpikir, meski otak burung itu kecil, ia lebih cerdas memilih makanan dibandingkan manusia. Sorgum mengandung protein (10,4 gr) lebih tinggi dibandingkan beras (7,9 gram) dan jagung (9,2 gram). Memang untuk urusan ini, gandum (11,6 gram) mengungguli sorgum (baca Suarni, "Potensi Sorgum sebagai Bahan Pangan Fungsional" di Jurnal Iptek Tanaman Pangan Vol. 7 No. 1 2012).

Tetapi sorgum itu gluten free, tidak menyebabkan celiac desease seperti gandum (BPTP Bali, "Sorgum: Kandungan Tinggi, Kaya Manfaat, Dukung Gluten Free Diet"). Hebatnya lagi, sorgum mendangung senyawa polifenol antioksidan yang berfungsi mencegah kanker dan serangan jantung (Suarni, 2012). Mungkin itu sebabnya kita tidak pernah membaca berita ada burung masuk rumah sakit karena kanker atau yang tiba-tiba jatuh dari pohon oleh serangan jantung.

Yang lebih penting adalah sorgum tidak butuh banyak air, adaptatif terhadap lahan kritis, dan tahan penyakit. Ini kualitas tanaman pangan yang ramah terhadap kondisi alam Timor, pas jika dikembangkan (dikembalikan) sebagai pangan lokal di Timor. Sebelum mengenal jagung, singkong, dan beras, orang NTT zaman dulu sudah lebih dahulu akrab dengan sorgum.

Sorgum di pekarangan rumah warga Desa Oh'aem I Kab Kupang, NTT [kredit foto: Mega Liu]
Sorgum di pekarangan rumah warga Desa Oh'aem I Kab Kupang, NTT [kredit foto: Mega Liu]
Sebelumnya tidak banyak orang yang tahu soal ini. Saya pun, karena dulu lebih fokus pada isu ekonomi-politik pertanian arus utama, baru satu dekade terakhir tahu ini. Dahulu, jika mendengar kata sorgum, saya teringat salah satu episode Saur Sepuh, yaitu ketika Brama Kumbara berada di Himalaya, bertarung dengan Biksu Kampala.

Dekade lalu di Adonara saya bertemu Ibu Maria Loreta, setahun sebelum Perkumpulan Pikul menuliskan profilnya yang kelak mengantarkannya menerima banyak penghargaan nasional selaku penggiat pangan lokal. Ibu Tata sempat menyindir, bagaimana bisa kalian terlibat isu pangan tetapi belum pernah melihat wujud sorgum dan jelai?

Tidak lama setelah itu, saya terlibat berburu pangan lokal, memetakan potensinya di sejumlah tempat di NTT.

Jika saja sudah sejak dulu saya tahu sorgum dan jelai yang dimakan Biksu Kampala sebenarnya juga pangan pokok orang NTT zaman dulu, mungkin sudah sejak itu saya hanya akan makan sorgum dan jelai agar sesakti Biksu Kampala, jagoan yang---selain Prabu Siliwangi---tidak bisa dikalahkan Brama Kumbara. Aih, saya jadi ingat tante Lasmini.

Baiklah, kami lanjutkan perjalanan.

Ada pemandangan lain yang menarik hati saya. Di kiri-kanan jalan berdiri rumah-rumah bulat dalam format asli, terletak di belakang bangunan induk. Itu adalah dapur sekaligus lumbung pangan rumah tangga orang Timor yang disebut Ume Bubu. Bangunan ini sering disebut istana perempuan sebab di banyak tempat, kaum lelaki tak boleh asal masuk..

Belum pernah saya kunjungi desa yang setiap rumahnya memiliki ume bubu berarsitektur asli. Di desa-desa yang pernah saya kunjungi, ume bubu dalam format asli umumnya tersisa beberapa saja. Sebagian keluarga telah mengganti dapur mereka dengan arsitektur yang lebih modern. Di Desa Oh'aem I ini, sejauh ruas jalan yang telah saya lewati, tiap-tiap rumah memiliki ume bubu asli.

Saya akan menulis artikel khusus tentang ume bubu ini tetapi tidak di Kompasiana. Saya mungkin akan memberikannya kepada sebuah website khusus isu kebudayaan yang akan launching Agustus nanti. Mereka bersedia membayar untuk itu meski murah saja. Mungkin setelah dari sana baru saya parafrasekan untuk Kompasiana.

Karena sudah cukup panjang, bagian soal masyarakat pemakan madunya saya ceritakan pada artikel bagian kedua.

Akan banyak oleh-oleh mudik menghadiri festival pangan lokal di Desa Oh'aem yang saya bagikan untuk Om-Tante. Tentu saja dalam rupa artikel. Sekitar 5 artikel yang rencananya saya jatahkan untuk Kompasiana. Pastikan Om-Tante rajin bersilaturahmi ke lapak ini.

Tabik. [@tilariapadika, 16/6/2018]

Baca artikel-artikel Tilaria Padika tentang Nusa Tenggara Timur [klik] dan tentang Pangan [klik]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun