Tetapi sorgum itu gluten free, tidak menyebabkan celiac desease seperti gandum (BPTP Bali, "Sorgum: Kandungan Tinggi, Kaya Manfaat, Dukung Gluten Free Diet"). Hebatnya lagi, sorgum mendangung senyawa polifenol antioksidan yang berfungsi mencegah kanker dan serangan jantung (Suarni, 2012). Mungkin itu sebabnya kita tidak pernah membaca berita ada burung masuk rumah sakit karena kanker atau yang tiba-tiba jatuh dari pohon oleh serangan jantung.
Yang lebih penting adalah sorgum tidak butuh banyak air, adaptatif terhadap lahan kritis, dan tahan penyakit. Ini kualitas tanaman pangan yang ramah terhadap kondisi alam Timor, pas jika dikembangkan (dikembalikan) sebagai pangan lokal di Timor. Sebelum mengenal jagung, singkong, dan beras, orang NTT zaman dulu sudah lebih dahulu akrab dengan sorgum.
Dekade lalu di Adonara saya bertemu Ibu Maria Loreta, setahun sebelum Perkumpulan Pikul menuliskan profilnya yang kelak mengantarkannya menerima banyak penghargaan nasional selaku penggiat pangan lokal. Ibu Tata sempat menyindir, bagaimana bisa kalian terlibat isu pangan tetapi belum pernah melihat wujud sorgum dan jelai?
Tidak lama setelah itu, saya terlibat berburu pangan lokal, memetakan potensinya di sejumlah tempat di NTT.
Jika saja sudah sejak dulu saya tahu sorgum dan jelai yang dimakan Biksu Kampala sebenarnya juga pangan pokok orang NTT zaman dulu, mungkin sudah sejak itu saya hanya akan makan sorgum dan jelai agar sesakti Biksu Kampala, jagoan yang---selain Prabu Siliwangi---tidak bisa dikalahkan Brama Kumbara. Aih, saya jadi ingat tante Lasmini.
Baiklah, kami lanjutkan perjalanan.
Ada pemandangan lain yang menarik hati saya. Di kiri-kanan jalan berdiri rumah-rumah bulat dalam format asli, terletak di belakang bangunan induk. Itu adalah dapur sekaligus lumbung pangan rumah tangga orang Timor yang disebut Ume Bubu. Bangunan ini sering disebut istana perempuan sebab di banyak tempat, kaum lelaki tak boleh asal masuk..
Belum pernah saya kunjungi desa yang setiap rumahnya memiliki ume bubu berarsitektur asli. Di desa-desa yang pernah saya kunjungi, ume bubu dalam format asli umumnya tersisa beberapa saja. Sebagian keluarga telah mengganti dapur mereka dengan arsitektur yang lebih modern. Di Desa Oh'aem I ini, sejauh ruas jalan yang telah saya lewati, tiap-tiap rumah memiliki ume bubu asli.
Saya akan menulis artikel khusus tentang ume bubu ini tetapi tidak di Kompasiana. Saya mungkin akan memberikannya kepada sebuah website khusus isu kebudayaan yang akan launching Agustus nanti. Mereka bersedia membayar untuk itu meski murah saja. Mungkin setelah dari sana baru saya parafrasekan untuk Kompasiana.
Karena sudah cukup panjang, bagian soal masyarakat pemakan madunya saya ceritakan pada artikel bagian kedua.