"Ini ditanam September lalu, Pak."
"Ya, sudah bisa jadi bibit yang ini. Maksud saya, mulai kapan Bapak biasa tanam sorgum?"
"Sudah dari zaman nenek moyang, Pak. Kami selalu tanam sorgum untuk makan. Yang ini sedikit. Di kebun lebih banyak lagi."
"Begitu ya," saya senang sekali mendengar ini, "seberapa sering keluarga makan sorgum?"
"Tidak tentu, Pak. Yang pasti seminggu ada. Kami selang-selingkan dengan nasi dan jagung. Sering juga dimasak bersama. Jika jumlahnya berlebihan, kami berikan ternak."
"Kalau di kebun, Bapak tanam kelilingi jagung dan padi?" Saya perlu pastikan seberapa strategis posisi sorgum dalam sistem pangan mereka. Di banyak desa, Sorgum hanya dijadikan tumbal, ditanam mengelilingi Jagung dan padi agar memancing burung-burung. Karena burung lebih senang sorgum, padi dan jagung selamat.
"Tidak, Pak. Kami tumpang sari dengan jagung dan padi."
Hmmm, itu berarti bapak ini memperlakukan sorgum dengan adil, sungguh menjadikannya pangan dan ketika berlebihan dijadikan pakan ternak.
"Kamera kalian berfungsi?" tanya saya rombongan setelah foto yang saya hasilkan dari kamera telepon genggam tampak---selalu begitu---kurang manis dan jelas. Mega Liu, relawan Perkumpulan Pikul mengerti maksud saya. Ia turun dari mobil, membawa kamera dan mulai jepret-jepret.
"Jangan foto saya. Sorgum-sorgum itu!" seru saya membetulkan maksud.
Kadang-kadang saya berpikir, meski otak burung itu kecil, ia lebih cerdas memilih makanan dibandingkan manusia. Sorgum mengandung protein (10,4 gr) lebih tinggi dibandingkan beras (7,9 gram) dan jagung (9,2 gram). Memang untuk urusan ini, gandum (11,6 gram) mengungguli sorgum (baca Suarni, "Potensi Sorgum sebagai Bahan Pangan Fungsional" di Jurnal Iptek Tanaman Pangan Vol. 7 No. 1 2012).