Saya sering cemburu membaca orang menulis bahwa menulis itu gampang. "Terberkati sekali orang-orang ini, sungguh mujur berkemampuan begitu, sangat berbakat. Indah nian hidup saya andai bisa seperti mereka." Begitu suara batin saya.
Benar bahwa saya sering menulis. Tidak terlalu mengecewakan juga kemampuan saya. Jika mood sedang cakep, duduk sejam saya bisa menulis satu bahkan dua artikel berstatus headline di Kompasiana. Tetapi itu bukan berarti mudah saja saya melakukannya atau bahwa artikel itu beres dan baik-baik saja.
Kelak saat saya baca lagi artikel-artikel itu, saya temukan banyak kekeliruan sintaksis dan semantik. Segera saya perbaiki. Eh, besok masih saja ada kesalahan. Kesalahan-kesalahan itu seperti daki di punggung yang kita pikir sudah luruh utuh setelah badan digosok pakai sikat atau lempeng batu dari pantai.
Menyebalkan, kesalahan yang banyak itu sedikit-sedikit terkuaknya. Mengapa tidak bisa sekaligus saja saya temukan? Padahal sebelum tayang, artikel sudah saya periksa dua kali.
Terkadang saya sulit percaya kenyataan ini, sampai-sampai saya berprasangka jangan-jangan penyebabnya ada admin yang utak-atik dan salah pencet. Heh!
Sebenarnya sebagian kesalahan berbahasa ragam tulis itu berupa cacat ringan saja, seperti jelaga pabrikan--eye shadow kah namanya?--yang ditorehkan perempuan penderita parkinson pada garis alis atau tepi kelopak matanya. Meski begitu saya terganggu dan merasa malu menemukannya di dalam artikel-artikel saya.
Umumnya  masalah saya dalam menulis artikel berbahasa Indonesia ada empat macam: saltik (typo); diksi kurang pas; kalimat tidak sangkil-mustajab; serta struktur kalimat melencengi kaidah.
Saya tidak akan membahas terlalu banyak masalah saltik dan diksi. Sudah banyak orang membicarakannya sebab sudah masalah umum.
"Kak, dia tidak bisa membedakan di yang kata depan dan yang awalan. Selalu terbalik perlakuannya." Suatu malam seorang editor majalah sastra tingkat komunitas curhat penilaian soal kesalahan berbahasa tulisan seorang doktor bahasa Indonesia kenalan saya.
"Ah, itu karena  fatique saja. Saya juga biasa begitu, kok." Saya membela doktor bahasa Indonesia itu.
"Kalau karena lelah salahnya tidak konsisten berulang. Kakak periksa saja status-status di facebook dia." Si redaktur keukeuh.