Eks-koruptor adalah warga negara. Tiap-tiap warga negara melekat pada dirinya hak-hak yang diakui konstitusi. Koruptor juga adalah manusia, dan tiap-tiap manusia melekat pada dirinya hak asasi yang tanpa pemenuhannya belum paripurna dirinya sebagai manusia.
Hak pilih, memilih dan dipilih dalam pemilu adalah hak asasi sekaligus hak konstitusional. Bicara hak asasi berarti bicara wewenang Tuhan. Bicara hak konstitusi berarti bicara UUD 1945 dan turunan perundang-undangan yang musti mengacu kepadanya. Konstitusi yang beradab adalah yang mengatur perlindungan atas semua hak asasi.
Ketika menjadi narapidana, koruptor kehilangan sebagian hak konstitusinya. Ia tidak merdeka ke mana-mana, juga tidak bisa mencalonkan diri menjadi siapa-siapa dalam pemerintahan, legilatif, dan lembaga publik lain.
Penjara adalah ganjaran atas kejahatan. Karena kejahatan adalah pelanggaran terhadap orde yang disepakati masyarakat---demikian asumsi positifnya---maka kejahatan atau korupsi mengubah seseorang menjadi bukan bagian dari masyarakat.
Tidak menjadi bagian dari masyarakat berarti tidak bisa melakukan atau menerima sejumlah hal selayaknya anggota masyarakat, termasuk tidak bisa dipilih dalam pemilu.
Tetapi penjara juga mekanisme memulihkan penjahat kembali menjadi anggota masyarakat. Makanya penjara disebut Lapas, Lembaga pemasyarakatan.
Menghabiskan hukuman dalam penjara adalah membayar kesalahan, menjadikan impas. Impas berarti kondisi kembali ke nol. Ia tiada lagi berutang apapun. Ia kembali menjadi masyarakat, berarti kembali memiliki hak-hak serupa tiap-tiap anggota masyarakat lain.
Jadi eks-napi korupsi adalah warga masyarakat yang sama dengan Om-Tante semua. Ketika mendaftar caleg, eks koruptor sama dengan caleg lain yang belum korupsi; sama dengan anak pejabat yang baru tamat sekolah dan kini diorbitkan bapaknya untuk jadi anggota parlemen; sama dengan ibu rumah tangga yang ingin berpenghasilan sendiri dengan menjadi anggota DPR; sama dengan pemuda pengangguran yang terlalu takut menjadi TKI dan merasa jago membual sehingga layak duduk di lembaga tukang bicara.
Melarang eks-napi korupsi mencalonkan diri dalam pemilu adalah pelanggaran atas hak konstitusinya, pelanggaran konstitusional.
Ada bentuk penalaran keliru yang disebut two wrongs make a right.
Menyerbu kantor Majalah Tempo atau kantor Radar Bogor itu salah, melanggar hukum. "Ya tetapi mereka bikin karikatur menyinggung junjungan kami seolah-olah ia Bang Toyib. Ya tetapi mereka melukai hati bunda jujungan kami, menyebutnya ongkang-ongkang kaki terima Rp 100 juta," jawab Om-Tante dengan penalaran keliru ini, seolah-olah tindakan salah bisa jadi benar asalkan dilakukan terhadap sesuatu yang sudah salah duluan.